Friday, December 27, 2013

SARINAH DAN PEREMPUAN INDONESIA



Eki Robbi Kusuma'fsafSARINAH DAN PEREMPUAN INDONESIA
Oleh : Eki Robbi Kusuma
Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Surya cetak 25 September 2012

            Masalah perempuan bukan masalah semata-mata perempuan melainkan masalah bersama antara laki-laki dan perempuan, sudah saatnya laki-laki dan perempuan bersatu karena indonesia membutuhkan kita untuk maju”. Kurang lebih begitulah yang dikatakan oleh Yuda Irlang, pembicara dalam acara bedah buku Sarinah karya Ir. Sukarno pada hari kamis (13/9) di Auditorium UPT Perpustakaan Bung Karno Blitar.
           
Acara bedah buku ini diadakan oleh UPT Perpustakaan Bung Karno Blitar menghadirkan pembicara Yuda Irlang (aktivis organisasi pergerakan perempuan)  dan Prof. Dr. Sam Abede, MM, MH.  Acara yang mengangkat buku Sarinah untuk dibedah dan mengetengahkan persoalan perempuan pada umumnya.

Sebuah pembicaraan dan kajian yang sangat jarang kita temui karena yang dibicarakan dalam acara tersebut adalah mengenai buku Sarinah yang merupakan kumpulan tulisan Sukarno dari memberikan “kursus wanita” di Yogyakarta dengan kondisi zaman dimana perempuan belum terposisikan sebagaimana mestinya bagi Sukarno. Menurut Sukarno laki-laki dan perempuan harus seiring sejalan , tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri.  Prof Sam Abede mengulasnya dengan kondisi zamannya yang dikhawatirkan adalah perilaku perempuan yang kelewat batas yang melawan kodrat. Apa kodrat sebenarnya? Apakah urusan perempuan yang dimaksud kasur, sumur dan dapur itu kodrat? Diulas menarik oleh pembicara.

Di sisi pembicaraan lain oleh Yuda Irlang, banyak menyoal partisipasi politik perempuan. Selain persoalan yang membelit kaum perempuan Indonesia. Sejauh ini pembicara menjadi aktivis perempuan tertampung banyak ketidaksesuaian wacana dan praktek mengenai pratisipasi politik perempuan dalam politik. Dari mulai gerakan perempuan di tingkat lokal maupun nasional yang dicontohkan beliau adalah PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) yang sulit sekali disadarkan akan posisinya dalam politik. Kegiatannya ya, hanya soal domestik saja dan cenderung pasif . Bukan berarti posisi politik untuk menjadi pendukung partai-partai politik tetapi bagaimana mereka bergerak untuk memerjuangkan nasib perempuan yang masih tersisihkan.

Bagaimana perempuan bisa mencapai kesetaraan gender jika kualitas perempuan Indonesia masih belum melek politik dan sadar posisi sebagai warga negara. Bagaimana kuota 30 % parlemen dapat terpenuhi jika kualitas perempuan saja diragukan? Semua perlu dilakukan gerakan bersama perempuan karena Yuda Irlang berkeyakinan perempuan adalah pilar pembangunan bangsa. Karena perempuanlah (ibu) yang mencetak generasi-generasi penerus bangsa ini. Jika perempuan kuat secara pengetahuan dan kepribadian maka ketika mereka mendidik anak akan sangat mungkin kualitas anak juga baik pula.

     Hanya saja, dalam kenyataannya semua menjadi antara ada dan tiada. Gerakan perempuan telah dihajar habis-habisan dengan wacana yang negatif bahwa gerakan perempuan adalah gerakan melawan laki-laki atau melawan suami jika bisa dikatakan demikian. Sehingga gerakan-gerakan ini semakin dijauhi dari perempuan sendiri dan penolakan beberapa laki-laki yang tidak mau tahu dengan kemajuan pasangan hidupnya. Bahkan di tingkat mahasiswa pun, amat jarang gerakan berbasis perempuan ada. sehingga, bibit-bibit organisasi gerakan dan pemikiran perempuan itu sulit dicari secara nyata, tetapi bukan berarti tidak ada.

Solusi dari tantangan perempuan adalah kesadaran perempuan sendiri akan peran dan posisinya sebagai warga negara. Perempuan harus bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan, seperti yang dicita-citakan Kartini dengan emansipasinya yang telah dilupakan. Tentang bagaimana seharusnya perempuan menuju kemajuan dengan tidak hanya berpengetahuan tapi juga berkepribadian. 

Di akhir saya kembali mengutip kata penutup dari Yuda Irlang di awal tulisan ini, bahwa “Masalah perempuan bukan masalah semata-mata perempuan melainkan masalah bersama antara laki-laki dan perempuan...”.  sehingga jelaslah ini tanggung jawab bersama. Bukankah kita dilahirkan dari rahim seorang perempuan? Sudah selayaknya perempuan yang melahirkan kita ke dunia diposisikan sebagaimana mestinya yang kuat secara pengetahuan dan kepribadian untuk kemajuan bangsa dan negara.