Friday, December 27, 2013

NASIONALISME BAHASA


NASIONALISME BAHASA
oleh : Eki Robbi Kusuma*
Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Surya cetak dan elektronik dengan sudah disunting http://surabaya.tribunnews.com/2012/09/16/mencicipi-gado-gado-sejarah-indonesia-kita






 
Saling Silang Budaya Indonesia – Eropa, Tema yang diangkat oleh FSKI BEMFIS Universitas Negeri Malang dalam bedah buku yang berjudul sama, yaitu Saling Silang Budaya Indonesia – Eropa dari diktator, bahasa ..... yang ditulis oleh Joss Wibisono (wartawan radio Hilversum Belanda) pada hari rabu (12/9) kemarin. Menghadirkan penulis bukunya langsung yaitu Joss Wibisono membuat acara yang diselenggarakn menjadi menarik, semenarik tulisan dalam bukunya.

Joss Wibisono sebagai seorang wartawan yang bekerja di radio Hilversum Belanda menulis banyak artikel lepas yang sebagian dimuat dibeberapa surat kabar harian dan majalah. Artikel-artikel itu dibukukan menjadi buku yang dibedah. Sebagai hasil pembukuan itu Joss membagi tulisannya dalam beberapa kategori, yaitu bahasa, politik, sejarah dan musik.

Tulisan Joss dari kategori-kategori itu banyak membahas mengenai silang budaya Indonesia-Eropa, disinilah sisi menariknya. Penulis sebagai orang Indonesia yang bekerja diluar negeri menjadi lebih terbuka secara melihat budaya Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang kontroversial dan mungkin tidak bisa diterima oleh beberapa kalangan karena komentarnya mengenai budaya Indonesia.

Dari tulisan itu, pembicaraan dalam diskusi bedah buku menarik dan menghangat. Ada beberapa pembicaraan dari keempat kategori tersebut yang menarik. Tentang Bahasa, dalam artikel yang berjudul “ Nasionalisme: kini giliran bahasa” dikatakan bahwa Indonesia ini sangat menggelikan dalam urusan bahasa.

Nasionalisme tidak hanya secara wilayah fisik saja tetapi juga mentalitas orang itu dalam kebanggaanya terhadap bangsanya. Salah satunya adalah melalui bahasa yang sehari-hari digunakan untuk berkomunikasi. 

Joss menulis dan mengulasnya dengan menarik, dengan mencontohkan tentang penyebutan Handphone disingkat HP. Bahasa apakah yang digunakan? Inggris tentunya, tetapi istilah ini tidak umum atau tidak lazim di negeri-negeri berbahasa inggris. Mereka mengenalnya adalah mobile phone atau celluler phone. Dengan serakahnya Indonesia mencampuradukkan bahasa inggris ke dalam bahasa Indonesia hingga bahasanya pun tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang memakai bahasa inggris. Sehingga, nasionalisme indonesia kembali menyempit dan rawan penyimpangan. Nasionalisme hanyalah sebatas wilayah ketika Timor-timur lepas, sipadan legitan jadi milik malaysia dan dengan semboyannya “NKRI harga mati”.

Nasionalisme Indonesia menjadi jauh dari keindonesiaan itu sendiri. Mudahnya adalah nasionalisme bahasa. Kita lebih bangga jika nama ayam goreng yang kita beli di pasar itu dinamakan Kentucky atau Fried Chiken. Padahal kita punya kosakata yang sama maknanya yaitu ayam goreng. silahkan coba lihat ke lingkungan sekitar apa yang ditulis dalam produk-produk buatan dalam negeri memakai bahasa indonesia murni? Di sinilah ketundukan pada bahasa menjadi persoalan. Karena bahasa mengandung informasi dan informasi mempengaruhi alam berpikir kita. Secara bahasa saja kita tidak sadar tunduk dan terjajah tanpa memperhatikan bahasa Indonesia yang murni.

Selanjutnya, tema cukup kontroversial yang dibahas Joss dari tulisannya yang berjudul “ Anomali sejarah” yang menyoal penulisan sejarah indonesia yang menyorot melulu tentang golongan kiri Indonesia yang menurutnya golongan kiri juga perlu dikaji lebih dalam. Kiri bukan hanya komunis saja tapi juga ada sayap-sayap yang lain seperti Sosialis dan Nasionalis. lucunya golongan kiri yang berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dinegatifkan citranya. Di satu sisi kiri banyak ditulis, di sisi lain lawan dari kiri (bisa dikatakan kanan) tidak diketahui.

Pola pikir Artikel-artikel Joss bisa dikatakan adalah pola pikir sejarah. Bukan sejarah dalam pandangan Indonesia yang sempit tapi dalam pandangan Eropa (Belanda). Dalam wawancara khusus penulis dengan Joss wibisono memaparkan bagaimana di Belanda sangat menghargai Sejarah dan belajar dari sejarah. Ini membuat Jurusan Sejarah di Perguruan Tinggi menjadi favorit berbanding terbalik dengan di Indonesia. Bahkan begitu mengakarnya sejarah bagi masyarakat Belanda dibuktikan dengan setiap keluarga di Belanda banyak menulis tentang silsilah keluarganya sehingga mereka begitu tahu perjalanan kakek, nenek sampai buyut terjauh. Di Indonesia? Jangankan tahu perjalanan kakek nenek, namanya saja mungkin belum tentu tahu. Inilah yang menjadi ironis ketika dibawa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Yang dimaksud pola pikir sejarah adalah setiap keadaan saat ini pasti ada kaitan dengan sebelumnya, tidak serta merta tiba-tiba terjadi tanpa sebab dan akibat. Ini yang menjadikan artikel tulisan Joss menarik disimak karena begitu melihat suatu permasalahan dicarilah sebab awalnya hingga akibatnya dan juga tema tulisannya sangat jarang dibahas oleh sejarawan Indonesia.

Dari sejarah kita akan tahu darimana sebuah permasalahan bermula tetapi ingatlah sejarah terus berjalan dan belum berakhir. Mungkin itu yang ingin dikatakan Joss dalam Saling silang budaya Indonesia – Eropa. Selain pembahasannya mengenai kategori lain dalam bukunya yang banyak melihat dari sudut pandang lain melihat sebuah permasalahan. Joss mengajak kita melihat sudut pandang lain sisi keindonesiaan dari sejarah hubungan silang budaya indonesia – Eropa yang jadi sebuah buku yang layak untuk disimak bersama. Selengkapnya silahkan membaca bukunya dan selamat membaca!





*Penulis sekarang menjabat sebagai Ketua GMNI Cabang Malang periode 2013-2015