DARI POLITIK KE KEBUDAYAAN: RMS DAN ORANG MALUKU DI
BELANDA DALAM PERUBAHAN.
Oleh:
Eki Robbi Kusuma*
Pendahuluan
Maluku
di Belanda memiliki sejarah yang cukup kontroversif jika kita melihatnya dari
sudut pandang kolonialisme. Orang Maluku di Belanda saat ini adalah sebagian
besar dari keturunan tentara KNIL yang masa kolonial merupakan tentara yang
setia pada Pemerintah Belanda. Kedatangan mereka ke negeri Belanda berawal pada
1951 ketika terjadi ketegangan politik antara pemerintah Indonesia dan Belanda.
Sebelumnya di Maluku telah muncul suatu gerakan separatisme (versi Pemerintah
Indonesia) yang di pimpin oleh Dr. Cris Soumokil yang bernama RMS ( Republik
Maluku Selatan).
RMS memiliki
perjalanan pelik karena kemunculannya yang kontroversif. Mulai dari pendapat
tentang RMS tangan hitam Belanda atas devide at impera agar Indonesia tetap
bisa diperlakukan sesuai kehendak pemerintah Kolonial. Dalam tubuh Maluku
sendiri juga terpecah antara yang mendukung NKRI dan ingin tetap merdeka.
Pemicu hal ini juga kekcewaaan atas Jakarta karena sepihak dalam menentukan
bentuk negara. Banyak dari Maluku yang pro Federasi yang tidak setuju atas
konsepsi NKRI. Lain daripada itu para nasionalis mendukung NKRI. Akibat dari
naiknya suhu politik yang tidak kunjung reda maka pemerintah Belanda membawa
mereka yang sebagian besar tentara KNIL ke negeri Belanda. Menurut Steijlen (2010: 143–162.):
In 1951 about 12,500 Moluccans, consisting of about 3,500
military with their families, came to the Netherlands and thus into exile. They
expected this to be temporary, anticipating they would be able to return to a
‘free Moluccas’ very soon.
Pada awal kedatangan orang Maluku 1951 ada 12.500 yang
terdiri dari 3.500 milter dengan keluarganya. Begitulah menjadi awal sebuah
koloni orang Maluku di negeri Belanda dan tulisan ini akan dialamatkan untuk
melihat bagaiamana kehidupan mereka di negeri Belanda.
RMS dan Politik identitas
RMS di Belanda sebagian
besar adalah simpatisan yang mulai mengorganisasikan diri dan membentuk
Pemerintahan di Pengasingan di bawah kepemimpinan J.A Manusama. Steijlen dalam
artikelnya menuliskan terkait RMS di Belanda dengan mengaitkannnya dengan teori
imagined community Benedict Anderson. Steijlen berpendapat bahwa nasionalisme
mereka pada generasi pertama Maluku di Belanda sifatnya adalah Nasionalisme
Pendukung “support nationalism”. Pada
genereasi kedua sekitar petengahan 1960 an dikategorikan oleh steijlen sebagai
nasionalisme “ex patria nationalism”
yang berasal dari luar sehingga membuat ruang bagi generasi muda Maluku untuk melakukan
tindakan-tindakan radikalisme yang merugikan. Dari luar ini maksudnya adalah
diluar generasi pertama yaitu generasi kedua yang melihat kondisi orangtuanya
yang memprihatinkan. Pembajakan kereta Api pada pertengahan 1970an menjadi puncak
radikalisme pemuda Maluku generasi kedua di Belanda dan ideologi nasionalisme
RMS mulai di pertanyakan. Sehingga muncullah kemudian apa yang dinama Nasionalisme
Perwakilan oleh Steijlen, yang sebagian masyarakat Maluku masih memilih jalan
radikal dan ada juga yang masih berpikir bahwa mereka tidak menetap di Belanda
dan akan pulang ke Maluku. Nasionalisme ini menghendaki orang di Maluku di
berikan kebebasan memilih menginginkan RMS dalam artian merdeka atau menjadi
bagian dari Indonesia. Dengan bekal ini aspirasi politik semakin mudah
disuarakan di Belanda.
RMS tidak bisa dilepaskan
dari masyarakat Maluku di Belanda karena RMS merupakan simbol identitas Maluku
di Belanda yang menjelaskan rekaman tujuan awal orang Maluku datang ke Belanda.
Dalam Kadir (2012:18-19) dijelaskan terkait dengan identitas Maluku di Belanda
sebagai migran dengan politik pergerakan yang mengusung bendera RMS yang dia
sebut juga sebagai politik identitas yang banyak dilakukan oleh generasi
pertama dan kedua Sedangkan pada generasi 1980an hingga kini identitas umum dari
periode sebelumnya telah pudar. Generasi ketiga dan setelahnya melakukan cara
penemuan identitas baru dengan melalui jalan berbeda seperti budaya,
pendidikan. Walaupun secara kasat mata wilayah politik belum ditinggalkan
seratus persen tetapi tidak untuk tujuan memerdekakan diri untuk Maluku hanya
sebagai perwakilan yang ikut mengawasi perkembangan Maluku dari Belanda. Banyak
dari peristiwa-peristiwa di Maluku akan memicu gelombang protes dari
orang-orang Maluku di Belanda, seperti kerusuhan di Maluku tahun 1999 dan pada
2011 yang membuat reaksi orang Maluku di Belanda ikut bersuara. RNW (radio
Netherlands Wereldomroep) dalam artikel yang diterbitkan 12 september 2011 yang
berjudul Waspadai berita dari sosial media, memberitakan bahwa pemimpin gereja
Sinode injil Maluku di Belanda berpesan agar tidak terprovokasi berita dari
Maluku. Begitu mereka sangat teliti memperhatikan perkembangan Maluku demi
kemajuan tanah kelahiran nenek moyang mereka.
Apakah ada kaitan antara kerusuhan di Maluku dengan RMS di Belanda? Steijlen
(2005:13-15) menjelaskan bahwa jika akan dihubungkan antara RMS di Belanda
dengan kerusuhan di Maluku pada 1999 dan 2011 maka harus kita pelajari
perkembangan ideologi yang menggerakan itu. Dia menerangkan bahwa akses antara
generasi Maluku yang sekarang dengan generasi sebelumnya tidak cukup kuat dan
telah mengalami perubahan sehingga perlu dilihat dinamika ideologi yang
membawanya menjadi sebuah gerakan politik yaitu RMS. Bagi mereka yang telah
membawa pemikiran baru lebih memilih untuk membantu pembangunan di Maluku dari
pada berpikir untuk memperjuangkan kemerdekaan secara radikal.
Pendidikan
Ketika saya membayangkan kedatangan orang Maluku di
Belanda, terbesit banyak pertanyaan dan salah satunya adalah bagaiamana akses
pendidikan mereka. Karena pendidikan menjadi sebuha sarana untuk mobilitas
sosial mengingat mereka ada di negeri orang. Generasi pertama mungkin tidak
membutuhkan pendidikan karena mereka masih mengangap bahwa mereka hanya sementara
di Belanda dan akan kembali ketika Maluku telah merdeka tapi ketika kenyataan
tidak sesuai dengan harapan dan ketika ada politik pembauran yang dilakukan
pemerintah Belanda terhadap kamp-kamp yang menjadi tempat tinggal oleh
masyarakat Maluku maka akses pendidikan menjadi dibutuhkan.
Ada artikel
RNW yang Diterbitkan : 22 Maret 2011 berjudul
Belanda Diskriminasi Orang Maluku. Sedikitnya seperti ini artikel tersebut
Pendidikan
pemuda Maluku di Belanda, menurut pengamat Maluku Nikijuluw, belum memenuhi harapan.
Tingkat pendidikan bisa dikatakan rendah. Ini antara lain karena diskriminasi
dalam pendidikan yang sudah terjadi sejak orang-orang Maluku pertama datang ke
Belanda.
Ketika orang-orang Maluku pertama tiba di Belanda 60 tahun lalu, Commissariaat Ambonezenzorg CAZ mengatur pendidikan untuk anak-anak Maluku.
Ketika orang-orang Maluku pertama tiba di Belanda 60 tahun lalu, Commissariaat Ambonezenzorg CAZ mengatur pendidikan untuk anak-anak Maluku.
Ditetapkan
bahwa setelah mengikuti sekolah dasar, anak-anak hanya boleh melanjutkan
pendidikan di apa yang disebut Ambachtsschool, atau Huishoudschool yang adalah
sekolah menengah kejuruan. Sekolah MULO dan HBS, sekolah menengah umum terbatas
untuk segelintir orang.
Kebijakan
Belanda
Itu memang kebijakan pemerintah Belanda di zaman itu, kata Nikijuluw kepada Radio Nederland. Kebijakan tersebut baru terungkap tahun 1990an lewat beberapa dokumen pemerintah yang kini disimpan di Museum Maluku.
Itu memang kebijakan pemerintah Belanda di zaman itu, kata Nikijuluw kepada Radio Nederland. Kebijakan tersebut baru terungkap tahun 1990an lewat beberapa dokumen pemerintah yang kini disimpan di Museum Maluku.
Tujuh tahun
pertama sejak kedatangan di Belanda, orang Maluku tidak diperbolehkan bekerja.
"Lalu anak-anak yang mau sekolah, kalau mau sekolah terus, cuma boleh ke
Ambachtsschool, Huishoudschool atau Technische School." Demikian
Nikijuluw.
Terlalu
mahal
Alasan pemerintah untuk menerapkan kebijakan seperti ini adalah bahwa toh orang Maluku nanti akan pulang ke Maluku. Tidak perlu berinvestasi terlalu banyak untuk mereka, karena pendidikan mahal. "Jadi mereka belajar menjahit, kerja dengan kayu dan besi."
Alasan pemerintah untuk menerapkan kebijakan seperti ini adalah bahwa toh orang Maluku nanti akan pulang ke Maluku. Tidak perlu berinvestasi terlalu banyak untuk mereka, karena pendidikan mahal. "Jadi mereka belajar menjahit, kerja dengan kayu dan besi."
Dampak
kebijakan itu hingga sekarang masih terasa. Tingkat pendidikan kebanyakan orang
Maluku generasi kedua bisa dikatakan rendah.
Namun,
tambah Nikijuluw, itu tidak boleh menjadi alasan untuk generasi ketiga untuk
tidak berpartisipasi dalam masyarakat Belanda. Pengamat Maluku ini menaruh
harapan cukup besar pada generasi keempat dan kelima.
Dari artikel ini saya berkorespondensi dengan Fridus Steijlen dan
menurutnya menanggapi artikel tersebut adalah.
The issue of discrimination in
education that you found on the RNW-site deals with the 1950ies. This was in
the first period after the arrival of the Moluccans. It was not just
discrimination, but also the idea that Moluccan children would benefit more
from the schools mentioned in case they would return to Maluku. The schools
(ambachtschool and huishoudschool) were more pratical and technical and could
help the children after returning to Maluku better then a general Dutch higher
education. We must not forget that the expectations were that Moluccans would
pulang after months or years. Only at the end of the 1970ies it became clear
that they would stay in the Netherland permanently. In the 1960ies the
educational system for Moluccans changed and there was less paternalism. Slowly
they entered higher education. The upward mobility (in education) slowed down
in the 1990ies. This was because of group-processes (ikut ramai) and because
teachers did not see the problems of Moluccan children clear enough. I would
not call this discrimination but lack of policy.
Hal Ini karena
persepsi orang-orang Maluku di sana tidak untuk menetap sehingga hanya di
sediakan sekolah yang bernama ambachtschool dan huishoudscool yang nantinya
secara teknis bisa membantu mereka untuk melanjutkan di perguruan tinggi ketika
mereka kembali ke Maluku. Hanya saja pada akhir 1970an ketika kenyataan
menghendali mereka akan tinggal di
Belanda secara permanen dalam sistem
pendidikan untuk tahun 1960an Maluku berubah, Perlahan-lahan
mereka masuk pendidikan tinggi. Mobilitas ke atas (dalam pendidikan) melambat di 1990an
tersebut. Salah
satu penyebabnya karena guru tidak
melihat masalah anak-anak Maluku
cukup jelas. Dan Steijlen menjelaskan bahwa itu bukan diskriminasi tetapi lebih tepatnya kurangnya
kebijakan. Salah satu kesulitan adalah keterbatasan bahasa. Kesulitan
ini salah satunya dikarenakan bahasa-bahasa yang digunakan di kamp2 pada
masa-masa awal menggunakan Melayu Ambon.
(Kadir 2012:7).
Kriminalitas
dan Respon
Ada yang menarik
bagi saya tentang bagaiamana masyarakat Belanda memandang orang Maluku di
Belanda yang banyak melakukan tindakan kriminalitas. Saya menemukan artikel di
RNW (13 september 2011) terkait dengan kerusuhan yang dilakukan oleh Geng Motor
Satu Darah. Satu darah pada awalnya didirikan sebagai simbol solidaritas orang
Maluku di Belanda. Seiring dengan itu geng motor ini terlibat dalam beberapa
tindakan kriminal. Saya mencoba berkorespondensi dengan Steijlen tentang
bagaimana tanggapan dari masyarakat Belanda terhadap Satu Darah.
As for the Satu Darah issues. I don't
think the Dutch society considers this a real Moluccan issue. Fact is that Satu
Darah started as a Moluccan motor chapter comparable with Hells Angels. But in
the meantime the majority is not Moluccan, so it is a mixed chapter wearing
jackets with Moluccan symbols (like the RMS flag and abbriviation R.M.S.). Like
most other motor gangs (Nomads, Hells Angels) some of the members are involved
in criminal acts, like violent blackmail and so on. In the press they will talk
about Satu Darah as a Moluccan motor gang but often add that is is Moluccan of
origin. The Dutch society as a whole does not consider this a Moluccan issue
but a issue of Motor gangs.
Mengenai
itu masyarakat Belanda melihat itu adalah masalah Geng Motor. Bukan nyata-nyata
masalah orang-orang Maluku karena dalam Geng itu anggotannya bercampur. Tidak
hanya orang-orang Maluku yang ada di dalam Geng Motor tersebut tetapi banyak
dari mereka yang bukan Maluku menggunakan nama Satu Darah dalam media. Hal ini
memberi saya simpulan bahwa disatu sisi identitas mereka sebagai orang Maluku
masih kuat tetapi telah mengalami pembauran/assimilation. Dan Identitas itu telah mengalami pergeseran
dari yang pada masa generasi pertama dan kedua lebih ke political identity
yaitu RMS, sekarang lebih liberal hingga ke arah sebuah komunitas Motor.
*Penulis adalah Ketua GMNI Cabang Malang periode 2013-2015. Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) Universitas Negeri
Malang (UM) pada Rabu, (25/04/2012). Diskusi dengan tema 'Perkembangan dan Identitas Orang Maluku di Belanda'. Diskusi ini juga dimuat di http://www.um.ac.id/v2/news/2012/04/710/
Referensi
Steijlen,
Fridus. 2010. Mollucans in Netherlands: from exile to migrant. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 44, no. 1 (2010), pp. 143–162.
Steijlen, Fridus. 2005. Using old Notions for New Ideologi: RMS and the
Mollucan Conflict. Makalah tidak diterbitkan.
Kadir, Hatib Abdul. 2012. Dari Bangsal menuju Pergaulan Global: Perubahan
Identitas Orang Maluku di Belanda. Makalah tidak diterbitkan.