Friday, December 27, 2013

DARI POLITIK KE KEBUDAYAAN: RMS DAN ORANG MALUKU DI BELANDA DALAM PERUBAHAN.



DARI POLITIK KE KEBUDAYAAN: RMS DAN ORANG MALUKU DI BELANDA DALAM PERUBAHAN.
Oleh: Eki Robbi Kusuma*


Pendahuluan

            Maluku di Belanda memiliki sejarah yang cukup kontroversif jika kita melihatnya dari sudut pandang kolonialisme. Orang Maluku di Belanda saat ini adalah sebagian besar dari keturunan tentara KNIL yang masa kolonial merupakan tentara yang setia pada Pemerintah Belanda. Kedatangan mereka ke negeri Belanda berawal pada 1951 ketika terjadi ketegangan politik antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Sebelumnya di Maluku telah muncul suatu gerakan separatisme (versi Pemerintah Indonesia) yang di pimpin oleh Dr. Cris Soumokil yang bernama RMS ( Republik Maluku Selatan).
RMS memiliki perjalanan pelik karena kemunculannya yang kontroversif. Mulai dari pendapat tentang RMS tangan hitam Belanda atas devide at impera agar Indonesia tetap bisa diperlakukan sesuai kehendak pemerintah Kolonial. Dalam tubuh Maluku sendiri juga terpecah antara yang mendukung NKRI dan ingin tetap merdeka. Pemicu hal ini juga kekcewaaan atas Jakarta karena sepihak dalam menentukan bentuk negara. Banyak dari Maluku yang pro Federasi yang tidak setuju atas konsepsi NKRI. Lain daripada itu para nasionalis mendukung NKRI. Akibat dari naiknya suhu politik yang tidak kunjung reda maka pemerintah Belanda membawa mereka yang sebagian besar tentara KNIL ke negeri Belanda. Menurut Steijlen (2010: 143–162.):

In 1951 about 12,500 Moluccans, consisting of about 3,500 military with their families, came to the Netherlands and thus into exile. They expected this to be temporary, anticipating they would be able to return to a ‘free Moluccas’ very soon.

Pada awal kedatangan orang Maluku 1951 ada 12.500 yang terdiri dari 3.500 milter dengan keluarganya. Begitulah menjadi awal sebuah koloni orang Maluku di negeri Belanda dan tulisan ini akan dialamatkan untuk melihat bagaiamana kehidupan mereka di negeri Belanda.


RMS dan Politik identitas

            RMS di Belanda sebagian besar adalah simpatisan yang mulai mengorganisasikan diri dan membentuk Pemerintahan di Pengasingan di bawah kepemimpinan J.A Manusama. Steijlen dalam artikelnya menuliskan terkait RMS di Belanda dengan mengaitkannnya dengan teori imagined community Benedict Anderson. Steijlen berpendapat bahwa nasionalisme mereka pada generasi pertama Maluku di Belanda sifatnya adalah Nasionalisme Pendukung “support nationalism”. Pada genereasi kedua sekitar petengahan 1960 an dikategorikan oleh steijlen sebagai nasionalisme “ex patria nationalism” yang berasal dari luar sehingga membuat ruang bagi generasi muda Maluku untuk melakukan tindakan-tindakan radikalisme yang merugikan. Dari luar ini maksudnya adalah diluar generasi pertama yaitu generasi kedua yang melihat kondisi orangtuanya yang memprihatinkan. Pembajakan kereta Api pada pertengahan 1970an menjadi puncak radikalisme pemuda Maluku generasi kedua di Belanda dan ideologi nasionalisme RMS mulai di pertanyakan. Sehingga muncullah kemudian apa yang dinama Nasionalisme Perwakilan oleh Steijlen, yang sebagian masyarakat Maluku masih memilih jalan radikal dan ada juga yang masih berpikir bahwa mereka tidak menetap di Belanda dan akan pulang ke Maluku. Nasionalisme ini menghendaki orang di Maluku di berikan kebebasan memilih menginginkan RMS dalam artian merdeka atau menjadi bagian dari Indonesia. Dengan bekal ini aspirasi politik semakin mudah disuarakan di Belanda.

            RMS tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Maluku di Belanda karena RMS merupakan simbol identitas Maluku di Belanda yang menjelaskan rekaman tujuan awal orang Maluku datang ke Belanda. Dalam Kadir (2012:18-19) dijelaskan terkait dengan identitas Maluku di Belanda sebagai migran dengan politik pergerakan yang mengusung bendera RMS yang dia sebut juga sebagai politik identitas yang banyak dilakukan oleh generasi pertama dan kedua Sedangkan pada generasi 1980an hingga kini identitas umum dari periode sebelumnya telah pudar. Generasi ketiga dan setelahnya melakukan cara penemuan identitas baru dengan melalui jalan berbeda seperti budaya, pendidikan. Walaupun secara kasat mata wilayah politik belum ditinggalkan seratus persen tetapi tidak untuk tujuan memerdekakan diri untuk Maluku hanya sebagai perwakilan yang ikut mengawasi perkembangan Maluku dari Belanda. Banyak dari peristiwa-peristiwa di Maluku akan memicu gelombang protes dari orang-orang Maluku di Belanda, seperti kerusuhan di Maluku tahun 1999 dan pada 2011 yang membuat reaksi orang Maluku di Belanda ikut bersuara. RNW (radio Netherlands Wereldomroep) dalam artikel yang diterbitkan 12 september 2011 yang berjudul Waspadai berita dari sosial media, memberitakan bahwa pemimpin gereja Sinode injil Maluku di Belanda berpesan agar tidak terprovokasi berita dari Maluku. Begitu mereka sangat teliti memperhatikan perkembangan Maluku demi kemajuan tanah kelahiran nenek moyang mereka.  Apakah ada kaitan antara kerusuhan di Maluku dengan RMS di Belanda? Steijlen (2005:13-15) menjelaskan bahwa jika akan dihubungkan antara RMS di Belanda dengan kerusuhan di Maluku pada 1999 dan 2011 maka harus kita pelajari perkembangan ideologi yang menggerakan itu. Dia menerangkan bahwa akses antara generasi Maluku yang sekarang dengan generasi sebelumnya tidak cukup kuat dan telah mengalami perubahan sehingga perlu dilihat dinamika ideologi yang membawanya menjadi sebuah gerakan politik yaitu RMS. Bagi mereka yang telah membawa pemikiran baru lebih memilih untuk membantu pembangunan di Maluku dari pada berpikir untuk memperjuangkan kemerdekaan secara radikal.



Pendidikan
            Ketika saya membayangkan kedatangan orang Maluku di Belanda, terbesit banyak pertanyaan dan salah satunya adalah bagaiamana akses pendidikan mereka. Karena pendidikan menjadi sebuha sarana untuk mobilitas sosial mengingat mereka ada di negeri orang. Generasi pertama mungkin tidak membutuhkan pendidikan karena mereka masih mengangap bahwa mereka hanya sementara di Belanda dan akan kembali ketika Maluku telah merdeka tapi ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan dan ketika ada politik pembauran yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap kamp-kamp yang menjadi tempat tinggal oleh masyarakat Maluku maka akses pendidikan menjadi dibutuhkan.
            Ada artikel RNW yang Diterbitkan : 22 Maret 2011 berjudul Belanda Diskriminasi Orang Maluku. Sedikitnya seperti ini artikel tersebut
Pendidikan pemuda Maluku di Belanda, menurut pengamat Maluku Nikijuluw, belum memenuhi harapan. Tingkat pendidikan bisa dikatakan rendah. Ini antara lain karena diskriminasi dalam pendidikan yang sudah terjadi sejak orang-orang Maluku pertama datang ke Belanda.

Ketika orang-orang Maluku pertama tiba di Belanda 60 tahun lalu, Commissariaat Ambonezenzorg CAZ mengatur pendidikan untuk anak-anak Maluku.
Ditetapkan bahwa setelah mengikuti sekolah dasar, anak-anak hanya boleh melanjutkan pendidikan di apa yang disebut Ambachtsschool, atau Huishoudschool yang adalah sekolah menengah kejuruan. Sekolah MULO dan HBS, sekolah menengah umum terbatas untuk segelintir orang.
Kebijakan Belanda
Itu memang kebijakan pemerintah Belanda di zaman itu, kata Nikijuluw kepada Radio Nederland. Kebijakan tersebut baru terungkap tahun 1990an lewat beberapa dokumen pemerintah yang kini disimpan di Museum Maluku.
Tujuh tahun pertama sejak kedatangan di Belanda, orang Maluku tidak diperbolehkan bekerja. "Lalu anak-anak yang mau sekolah, kalau mau sekolah terus, cuma boleh ke Ambachtsschool, Huishoudschool atau Technische School." Demikian Nikijuluw.
Terlalu mahal
Alasan pemerintah untuk menerapkan kebijakan seperti ini adalah bahwa toh orang Maluku nanti akan pulang ke Maluku. Tidak perlu berinvestasi terlalu banyak untuk mereka, karena pendidikan mahal. "Jadi mereka belajar menjahit, kerja dengan kayu dan besi."
Dampak kebijakan itu hingga sekarang masih terasa. Tingkat pendidikan kebanyakan orang Maluku generasi kedua bisa dikatakan rendah.
Namun, tambah Nikijuluw, itu tidak boleh menjadi alasan untuk generasi ketiga untuk tidak berpartisipasi dalam masyarakat Belanda. Pengamat Maluku ini menaruh harapan cukup besar pada generasi keempat dan kelima.
Dari artikel ini saya berkorespondensi dengan Fridus Steijlen dan menurutnya menanggapi artikel tersebut adalah.

The issue of discrimination in education that you found on the RNW-site deals with the 1950ies. This was in the first period after the arrival of the Moluccans. It was not just discrimination, but also the idea that Moluccan children would benefit more from the schools mentioned in case they would return to Maluku. The schools (ambachtschool and huishoudschool) were more pratical and technical and could help the children after returning to Maluku better then a general Dutch higher education. We must not forget that the expectations were that Moluccans would pulang after months or years. Only at the end of the 1970ies it became clear that they would stay in the Netherland permanently. In the 1960ies the educational system for Moluccans changed and there was less paternalism. Slowly they entered higher education. The upward mobility (in education) slowed down in the 1990ies. This was because of group-processes (ikut ramai) and because teachers did not see the problems of Moluccan children clear enough. I would not call this discrimination but lack of policy.

Hal Ini  karena persepsi orang-orang Maluku di sana tidak untuk menetap sehingga hanya di sediakan sekolah yang bernama ambachtschool dan huishoudscool yang nantinya secara teknis bisa membantu mereka untuk melanjutkan di perguruan tinggi ketika mereka kembali ke Maluku. Hanya saja pada akhir 1970an ketika kenyataan menghendali mereka akan tinggal di Belanda secara permanen  dalam sistem pendidikan untuk tahun 1960an Maluku berubah, Perlahan-lahan mereka masuk pendidikan tinggi. Mobilitas ke atas (dalam pendidikan) melambat di 1990an tersebut.  Salah satu penyebabnya karena guru tidak melihat masalah anak-anak Maluku cukup jelas. Dan Steijlen menjelaskan bahwa itu bukan diskriminasi tetapi lebih tepatnya kurangnya kebijakan. Salah satu kesulitan adalah keterbatasan bahasa. Kesulitan ini salah satunya dikarenakan bahasa-bahasa yang digunakan di kamp2 pada masa-masa awal menggunakan  Melayu Ambon. (Kadir 2012:7).


Kriminalitas dan Respon
            Ada yang menarik bagi saya tentang bagaiamana masyarakat Belanda memandang orang Maluku di Belanda yang banyak melakukan tindakan kriminalitas. Saya menemukan artikel di RNW (13 september 2011) terkait dengan kerusuhan yang dilakukan oleh Geng Motor Satu Darah. Satu darah pada awalnya didirikan sebagai simbol solidaritas orang Maluku di Belanda. Seiring dengan itu geng motor ini terlibat dalam beberapa tindakan kriminal. Saya mencoba berkorespondensi dengan Steijlen tentang bagaimana tanggapan dari masyarakat Belanda terhadap Satu Darah.

As for the Satu Darah issues. I don't think the Dutch society considers this a real Moluccan issue. Fact is that Satu Darah started as a Moluccan motor chapter comparable with Hells Angels. But in the meantime the majority is not Moluccan, so it is a mixed chapter wearing jackets with Moluccan symbols (like the RMS flag and abbriviation R.M.S.). Like most other motor gangs (Nomads, Hells Angels) some of the members are involved in criminal acts, like violent blackmail and so on. In the press they will talk about Satu Darah as a Moluccan motor gang but often add that is is Moluccan of origin. The Dutch society as a whole does not consider this a Moluccan issue but a issue of Motor gangs.

Mengenai itu masyarakat Belanda melihat itu adalah masalah Geng Motor. Bukan nyata-nyata masalah orang-orang Maluku karena dalam Geng itu anggotannya bercampur. Tidak hanya orang-orang Maluku yang ada di dalam Geng Motor tersebut tetapi banyak dari mereka yang bukan Maluku menggunakan nama Satu Darah dalam media. Hal ini memberi saya simpulan bahwa disatu sisi identitas mereka sebagai orang Maluku masih kuat tetapi telah mengalami pembauran/assimilation.  Dan Identitas itu telah mengalami pergeseran dari yang pada masa generasi pertama dan kedua lebih ke political identity yaitu RMS, sekarang lebih liberal hingga ke arah sebuah komunitas Motor.
            
*Penulis adalah Ketua GMNI Cabang Malang periode 2013-2015. Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) Universitas Negeri Malang (UM) pada  Rabu, (25/04/2012). Diskusi dengan tema 'Perkembangan dan Identitas Orang Maluku di Belanda'. Diskusi ini juga dimuat di http://www.um.ac.id/v2/news/2012/04/710/


Referensi


Steijlen, Fridus. 2010. Mollucans in Netherlands: from exile to migrant. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 44, no. 1 (2010), pp. 143–162.

Steijlen, Fridus. 2005. Using old Notions for New Ideologi: RMS and the Mollucan Conflict. Makalah tidak diterbitkan.

Kadir, Hatib Abdul. 2012. Dari Bangsal menuju Pergaulan Global: Perubahan Identitas Orang Maluku di Belanda. Makalah tidak diterbitkan.