Tuesday, June 10, 2014

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN



REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN
Oleh : Eki Robbi Kusuma

Pendahuluan
Negara kita adalah Negara agraris. Begitulah sepenggal kata yang saat ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Pertanyaan itu dikarenakan impor besar-besaran bahan makanan mulai dari beras, garam, bawang, dan hasil pertanian lain. Impor ini karena tidak mencukupinya hasil pertanian dalam negeri untuk konsumsi domestic sehingga dibutuhkan pasokan impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Era Orde baru pernah melakukan politik pangan sebagai bentuk penerjemahan Revolusi Hijau dengan target swasembada pangan. Kebijakan pemerintah orde Baru ini mebawa perubahan baik positi dan negatif pada masyarakat desa yang bersentuhan langsung dengan pertanian. Karena pertanian secara langsung menjadi tumpuan masyarakat desa membuat perubahan sedikit saja terhadap sector pertanian akan membawa dampak pada masyarakat desa.
Setelah orde baru, politik pangan menjadi berbeda yang mana dulunya menekankan pada swasembada pangan tetapi sekarang lebih pada mekanisme pasar. Sehingga impor bahan pangan menjadi hal yang wajar dan jargon Negara agraris menjadi kabur dalam prakteknya. Hal ini menjadikan kelangkaan bawang merah dan putih yang dewasa ini terjadi adalah hal yang memang suatu ketika akan terjadi. Mekanisme pasarlah yang bermain dalam proses kelangkaan itu. Berangkat dari paparan diatas maka artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perubahan sosial pertanian desa akibat dari Revolusi Hijau.

Pangan dan perubahan sosial
            Saat ini , politik-ekonomi pangan Indonesia sudah jauh bergeser. Imperative pasar bebas telah menggeser kuasa Negara dalam mengatur perdangan pangan, sedemikian rupa sehingga monopoli impor bahan pangan tidak bias lagi diberlakukan, sehingga subsidi kepada bulog tidak bias dilanjutkan. Mesin kekuasann yang dahulu dipelihara Orde Baru, dan sekaligus menjadi penghambat bekerjanya mekanisme pasar dalam tata kelola pangan telah kehilangan sebagian besar kekuatannya. (Fahmid, 2004:xviii-xix)
            Pernyataan diatas menjadi hal yang sedang dialami Negara ini sekarang. Demikian yang perlu dicermati mengenai hal itu adalah awal dari politik ekonomi pangan. Mula dari ini adalah revolusi Hijau yang membuat agenda Ekonomi Politik dan modernisasi sektor pertanian. Fahmid (2004: 24-25) mengatakan bahwa Implikasi yang sangat esensial dari Program Revolusi Hijau dalah membagi struktur sosial petani di pedesaan menjadi dua. Kelompok pertama adalah sebagain kecil masyarakat desa menjadi petani komersial dan kelompok lainnya yang mayoritas menjadi buruh tani, kehidupan mereka sangat bergantung pada pendapatan gaji harian.

Revolusi Hijau di Indonesia
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). (Wikipedia)
Di Indonesia setelah merdeka pada tahun 1945, perhatian utama pemerintahan Sukarno adalah bagaimana meningkatkan persediaan beras. Hal ini digunakan untuk menyediakan stok beras. Tahun 1956 indonesia telah mengimpor hamper 800.000 ton. Tahun 1962 pemerintah memulai program baru dan di tahun itu pula Indonesia mampu mengimpor lebih dari 1 juta ton.
Program untuk menahan jatuhnya harga beras ini tidak mempertimbangkan keuntungan bagi para petani. Produksi beras di jawa tahun 1965 tidak lebih tinggi jika dibandingkan sebelum perang dunia II. Pada era Suharto kondisi ini di respon dengan program revolusi hijau diantaranya adalah pengunaan jenis-jenis bibit baru, pupuk, mesin-mesin pertanian, penggunaan lahan, pembangunan sarana publik local, bimbingan masyarakat, koperasi unit desa, dan subsidi harga pupuk. (Fahmid, 2004: 84-85)

Perubahan-perubahan akibat Revolusi Hijau
            Perkembangan kondisi pertanian di Indonesia yang diakibatkan Revolusi Hijau tergambar dari produktivitas dan struktur pertanian dan kecenderungan penggunaan input-input revolusi pertanian seperti mesin, pupuk, bibit dan irigasi. Fahmid (2004:132-133) mencatat secara keseluruhan selama 40 tahun (1962-2001) diterapkannya program Revolusi Hijau di Indonesia, rata-rata nilai pertumbuhan produksi pertanian, mesin-mesin, buruh, irigasi, konsumsi, bibit, pupuk dan populasi perkotaan dan pedesaan tumbuh mengesankan. Secara analitis dapat dinyatakan , bahwa meningkatnya produksi pertanian tidak sepadan dengan kenaikan konsumsi pupuk, penggunaan mesin dan bibit, tingkat tertinggi produksi pertanian di capai antara tahun 1979-1983 dan pemakaian pupuk tertinggi pada saat penggunaan mesin meningkat secara signifikan antara tahun 1984-1988.
            Dalam ranah sosial terjadi perubahan struktur sosial, populasi pertanian terus menerus mengalami penurunan dan secara bersamaan penduduk desa juga turun. Penurunan ini terjadi karena banyak factor, salah satunya karena lahan pertanian yang dengan cepat disulap menjadi bangunan. Di sisi lain program-program yang dicanangkan pemerintahan orde baru hanya menguntungkan petani yang memiliki lahan dan elite local, sehingga banyak dari pemilik lahan dan elite local memperluas lahan dan merugikan petani penggarap. Famid (2004:139) menjelaskan bahwa populasi petani di Indonesia masih petani tanpa lahan garapan. Mereka yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini kemudian menjadi pengangguran. Sebagian yang lain memilih bekerja di sector industry yang ditawarkan di perkotaan.
Revolusi hijau dirancang untuk memodernisasi pertanian dengan menggunakan padat modal, teknologi, keahlian yang cukup dan individualism. Program tersebut dibuat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik lewat swasembada pangan. Secara teoritis, moral ekonomi para petani tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Sebelumnya para petani Indonesia hidup dalam lingkungan komunal yang jauh dari nilai-nilai kapitalisme, penduduk biasanya hidup bergotong royong yang mencerminkan nilai-nilai tradisional hidup mereka. Revolusi Hijau memiliki kemampuan untuk merubah tatanan tradisional menjadi institusi pasar modern yang hanya menguntungkan para pemimpin pedesaan dan elite local. Karena itu sangat mudah diamati implikasi negatif dari revolusi hijau adalah dikenalnya mentalitas individualism sebagai suatu tanda transisi kearah kapitalisme pertanian.
Perubahan struktur sosial di pedesaan merupakan kenyataan dari ekses Revolusi Hijau. Perubahan itu berdampak pula pada perubahan politik. Hal ini senada dengan teori system (Sztompka, 2008:3-4) yang membedakan perubahan sosial dalam beberapa jenis tergantung pada sudut pengamatan: apakah dari sudut fragmen atau dimensi system sosial. Ini disebabkan keadaan system sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen.
Perubahan politik yang dicatat oleh  Fahmid (2004:152) ada 4 kategori: peningkatan konflik regional, perubahan bentuk perjuangan kelas bawah, membesarnya gelombang kaum proletarian dan percepatan perubahan. Peningkatan konflik terhadap pemerintah pusat bias muncul sewaktu-waktu jika pasokan pertanian menurun. Contoh kasus kelangkaan bawang yang menyebabkan kenaikan harga bawang secara langsung menyulut benih-benih kebencian terhadap pemerintah pusat. Di satu sisi Revolusi hijau ini adalah bentuk lain eksploitasi oleh kapitalis karena membentuk ketergantungan.
Ketergantungan itu dimulai dari bibit yang tidak bisa digunakan berulang kali sehingga untuk mendapatkan bibit unggul harus membeli. Alat-alat pertanian seperti traktor juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan tetapi disisi yang lain tidak serta merta dapat membuat produksi pertanian meningkat. Pupuk kimia, pertisida dan lain sebagainya menjadikan petani tidak dapat lepas dari produk industri Kapital.

Penutup
            Penerapan Revolusi Hijau membawa perubahan sosial masyarakat pedesaan yang perlu dipelajari lebih lanjut agar dapat membawa dampak yang signifikan dalam ketersediaan bahan pangan. Bagaimanapun pangan menjadi sector penting dalam kelangsungan suatu bangsa, sector ini bias menjadi pemicu masalah-masalah sosial yang lebih kompleks dari politik hingga pertahanan. Untuk itu penelitian lanjutan mengenai perubahan sosial pedesaan terkait pertanian perlu dilakukan dengan penuh seksama. Hal ini menjadi begitu mendesak karena dewasa ini pangan dan pedesaan mengalami tren penurunan sehingga langkah-langkah kongkret pemerintah diperlukan dalam pembangunan sektor ini.
           
Rujukan
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Fahmid, Imam Mujahidin. 2004. Gagalnya Politik Pangan di Bawah Rezim Orde Baru : Kajian Ekonomi Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota dan ISPEI.
Wikipedia. Revolusi-Hijau. Diakses pada 4 April 2013.

PEMILU AMAN, RAKYAT NYAMAN



PEMILU AMAN, RAKYAT NYAMAN


Pemilu Presiden yang akan diselenggarakan pada 9 Juli nanti menjadi pesta demokrasi akbar rakyat Indonesia. KPU telah menetapkan hanya ada dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung dalam pilpres kali ini, yaitu pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Banyak dukungan telah digalang oleh tim sukses masing-masing calon dan banyak pula ormas-ormas, kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon. Para pendukung baik fanatik maupun yang hanya simpatik membela dan menyuarakan keunggulan masing-masing calon yang didukungnya.
Suhu politik menjelang pilpres 2014 ini menjadi sangat tinggi, ditambah beberapa kampanye negative dari masing-masing pasangan calon ditujukan untuk pasangan calon lain. Dalam suasana demokrasi hal ini menjadi hal yang biasa, tetapi yang perlu diwasapadai adalah potensi konflik yang terjadi pada konstelasi pilpres 2014.
Indonesia Police Watch (IPW) menilai, 40 hari menjelang Pilpres 2014, situasi dan kondisi di masyarakat kian terbelah di antara dua pasangan capres dan cawapres, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Eskalasi sosial politik menjelang Pilpres 2014 terlihat lebih panas ketimbang pilpres-pilpres sebelumnya. Hal ini disebabkan hanya ada dua 
pasangan calon."Sehingga "perang terbukanya" lebih nyata dan tajam. Dalam kondisi seperti ini Polri perlu membuat atau mengupdate peta situasi kamtibmas teraktual. Sehingga Polri bisa memetakan daerah-daerah potensial terhadap ancaman kamtibmas maupun ancaman konflik sosial menjelang maupun sesudah Pilpres 2014," Ketua Presidium IPW,
ungkap Neta S Pane dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Jumat (30/5/2014).
Potensi ancaman konflik sosial yang sudah terlihat belakangan ini terjadi di ibukota Jakarta dan Jogjakarta. Di Jakarta, Posko Relawan Jokowi-JK di Setiabudi dan baliho bergambar Megawati di Duri Pulo dibakar orang tak dikenal, beberapa hari lalu. 

Di Jogja, aksi demo mahasiswa menentang pencalonan Prabowo-Hatta berlangsung ricuh dan Kamis (29/5/2014) malam rumah pimpinan Relawan Jokowi-JK Jogjakarta Julius Felicianus diserang orang tak dikenal. Julius sendiri luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit.

"IPW melihat sejumlah daerah mulai menunjukkan suhu politiknya meninggi, yakni Aceh, Sumut, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Jogja, Jateng, Jatim, Sulsel, Sulteng, NTB, Kalbar, dan Papua. Apa yang terjadi di Jakarta dan Jogja adalah bibit-bibit konflik dan gambaran bahwa Pilpres 2014 akan panas dengan konflik-konflik horizontal antar pendukung capres," ungkap Neta S Pane.

Pernyataan yang disampaikan oleh Neta S. Pane setidaknya menjadi peringatan dini, tidak hanya bagi pihak pemangku kewajiban tetapi juga bagi rakyat pada umumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat belum memiliki sistem pencegahan konflik yang selama ini dilakukan adalah penanganan konflik oleh pihak berwajib/Kepolisian.

Situasi pilpres akan menjadi konflik horizontal jika penyelenggara Pemilu (KPU ataupun Bawaslu) tidak netral. Masalah-masalah yang terjadi dalam KPU pun masih banyak. Seperti penetapan DPT yang masih bermasalah. Jika sedikit saja penyelenggara Pemilu terindikasi tidak netral (bermasalah) di dalam suatu wilayah maka massa pasangan calon yang merasa dirugikan akan berpotensi menyebabkan konflik.

Dilansir dari Koran Sindo online (12/5) Awalnya MK menyebutkan jumlah perkara yang diajukan parpol dan calon anggota DPD hanya 702. Namun setelah dilakukan validasi mendalam terhadap seluruh berkas permohonan, ternyata jumlah gugatan mencapai 767 perkara. ”Perkara yang diajukan parpol maupun perseorangan dalam buku registrasi perkara konstitusi, sebanyak 767. Rinciannya, 735 perkara yang diajukan parpol, dan 32 perkara oleh calon DPD,” kata Hamdan Zoelva Ketua MK

Berita ini terkait perkara pemilu Legislatif 9 April lalu. Tidak menutup kemungkinan jika perkara gugatan MK yang banyak ini berulang pada pilpres 9 Juli mendatang. Ditambah lagi pernyataan komisioner KPU yang dilansir dari Kompas.com

Komisioner KPI Idy Muzayyad menyebut ada dua stasiun televisi berita terindikasi menayangkan berita secara tidak berimbang terkait dua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden. Surat peringatan sudah dilayangkan.

“Yang cenderung parah TV news. Ada dua TV news yang memiliki afiliasi politik yang berbeda,” ujar Idy saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (31/5/2014). “Metro TV memberitakan Jokowi, TV One memberitakan Prabowo, itu silakan. Tapi kan harus proporsional.”

Sentimen-sentimen negative dan positif terus diwacanakan oleh timses masing-masing capres yang pasti akan tidak berimbang. Sebagai masyarakat kita harus cerdas memilih informasi dan juga bolehlah kita mendukung salah satu pasangan capres tetapi yang perlu diingat adalah siapapun yang terpilih, rakyatlah yang harus menang, jangan mudah terprovokasi, kita adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Perlu diwasapadai juga adalah isu SARA yang cukup sensitif. Isu ini berpotensi menjadikan pemicu konflik horizontal jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai masyarakat yang entah peduli atau tidak pada politik negeri ini harusnya memahami tentang potensi-potensi konflik ini. Pemahaman ini penting agar masyarakat terhindar dari provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menginginkan negeri ini tidak aman. Di satu sisi, ketika konflik terjadi maka akan ada banyak orang yang tidak tahu menahu akan ikut menanggung akibatnya. Kerusuhan 1998 setidaknya dapat menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini, setidaknya dalam mencegah agar tidak terjadi lagi.

Mari kita bersama-sama menahan diri, tidak mudah terprovokasi dan mengkampanyekan PEMILU DAMAI, PEMILU AMAN, SIAPAPUN PRESIDENNYA RAKYATLAH YANG HARUS MENANG.

Merdeka!

Sunday, May 11, 2014

SEJARAH DAN KEORGANISASIAN GmnI

SEJARAH GMNI
A. Sejarah Pembentukan GMNI
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) lahir dari hasil proses peleburan tiga organisasi kemahasiswaan yang berasaskan sama yakniMarhaenisme ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi tersebut adalah:
  • Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang berpusat di Jogjakarta
  • Gerakan Mahasiswa Merdeka yang berppusat di Surabaya
  • Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta
Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
  1. Ketiga organisasi setuju untuk melakukan fusi
  2. Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi ini bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesa (GMNI)
  3. Asas Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesa (GMNI) adalah Marhaenisme ajaran Bung Karno
  4. Sepakat untuk mengadakan Kongres pertama GMNI di Surabaya
Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain: Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka (1. Slamet Djajawidjaja, 2. Slamet Rahardjo, 3. Heruman), dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis (1. Wahyu Widodo, 2. Subagio Masrukin, 3. Sri Sumantri Marto Suwignyo), Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (1. S.M. Hadiprabowo, 2. Djawadi Hadipradoko, 3. Sulomo).
B. Sejarah Perjalanan Kongres
KONGRES I
Dengan dukungan dari Bung Karno pada tanggal 23 Maret 1954 dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi (Dies Natalis) GMNI. Hasil dari pada Kongres I adalah :
  1. Pengesahan nama GMNI sebagai hasil fusi ketiga organisasi
  2. Penetapan pimpinan nasional GMNI dengan M. Hadiprabowo sebagai ketua
KONGRES II
Dilaksanakan di Bandung pada tahun 1956 dengan hasil sebagai berikut :
  1. Konsolidasi internal organisasi
  2. Meningkatkan kualitas GMNI dengan mendirikan cabang-cabang baru di seluruh wilayah NKRI
  3. Sebagai ketua pimpinan nasional GMNI tetap M. Hadiprabowo
KONGRES III
Dilaksanakan di Malang pada tahun 1959 dengan hasil sebagai berikut :
  1. Evaluasi pesatnya perkembangan cabang-cabang GMNI di Jawa, Sumatra, dan wilayah-wilayah lain
  2. Pengembangan cabang-cabang baru GMNI di seluruh Kabupaten / Kota yang ada perguruan tingginya
  3. Perubahan manajemen organisasi dari bentuk DPP menjadi Presidium
  4. Ketua Presidium adalah M. Hadiprabowo
  5. Konperensi Besar GMNI di Kaliurang tahun 1959 Bung karno memeberikan pidato sambutan dengan judul “Hilangkan Sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa”. Diteguhkannya kembali Marhaenisme sebagai asas perjuagan organisasi.
KONGRES IV
Digelar tahun 1962 di Jogjakarta, dengan hasilnya:
  1. Peneguhan eksistensi organisasi dalam realitas sosial politik dan masalah kemasyarakatan
  2. Kepengurusan Presidium antara lain: Bambang Kusnohadi (ketua), Karjono (sekjen), John Lumingkewas, Waluyo, dll.
  3. Konperensi Besar di Jakarta 1963
  4. Bung Karno memeberikan amanat yang pada intinya meminta GMNI untuk lebih menegaskan ideologi Marhaenismenya.
KONFERENSI BESAR
Kongres V direncanakan berlangsung di Jakarta, tetapi batal akibat adanya GESTOK. Untuk itu konsolidasi organisasi dipindahkan ke Pontianak melalui forum Konferensi Besar tahun 1965, dengan hasil menetapkan kerangka program perjuangan dan program aksi bagi pengabdian masyarakat.
KONGRES V
Berlangsung tahun 1969 di Salatiga. Terjadi perdebatan sengit di dalam kongres akibat infiltrasi dari rezim penguasa Orde Baru. Hasilnya : mengesahkan kepemimpinan nasional GMNI berupa DPP dengan ketua Soeryadi dan Sekjen Budi Hardjono.
KONGRES VI
Dilaksanakan tahun 1967 di Ragunan jakarta dengan tema pengukuhan kembali independensi GMNI serta persatuan dan kesatuan dan sekaligus konsolidasi organisasi. Hasil kongres ini adalah :
  1. Penyatuan faksi yang ada di GMNI
  2. Rekonsiliasi dengan power sharing untuk mengisi struktur kepemimpinan nasional
  3. Pernyataan independensi GMNI
  4. Pimpinan nasional berbentuk Presidium dengan kepengurusan sebagai berikut : Sudaryanto, Daryatmo Mardiyanto, Karyanto, Wisnu Subroto, Hadi Siswanto, Rashandi Rasjad, Teuku Jamli, Viktor S Alagan, Alwi F. AS, Emmah Mukaromah, Agung Kapakisar, Sunardi GM, Semedi.

KONGRES VII
Dilaksanakan di Medan tahun 1979, hasilnya adalah:
  1. Konsolidasi organisasi dan konsolidasi ideologi secara optimal
  2. Marhaenisme sebagai asas organisasi tidak boleh diubah
  3. Penegasan independensi GMNI
  4. Presidium dengan anggota : Sutoro SB (Sekjen), Daryatmo Mardiyanto, Lukman Hakim, Sudaryanto, Kristiya Kartika, Karyanto Wirosuhardjo.
KONGRES VIII
Berlangsung 1983 di Lembang, Bandung, dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan. Kepengurusan Presidium hasil kongres ini adalah : Amir Sutoko (Sekjen), Suparlan, Sudiman Kadir, Suhendar, Sirmadji Tjondropragola, Hari Fadillah, Rafael Lami Heruhariyoso, Bismarck Panjaitan, Antonius Wantoro.
KONGRES IX
Berlangsung di Samarinda tahun 1986. Kepengurusan Presidium hasil kongres ini adalah: Kristiya Kartika (Ketua), Hairul Malik (Sekjen), Sudirman Kadir, Sunggul Sirait, Agsu Edi Santoso, I Nyoman Wibano, Suparlan, Adin Rukandi, Gerson Manurib.
KONGRES X
Berlangsung di Salatiga tahun 1989. Kepengurusan Presidium hasil Kongres ini adalah: Kristiya Kartika (Ketua), Heri Wardono (Sekjen), Agsu Edi Santoso, Hendro S. Yahman, Sunggul Sirait, Ananta Wahana, Jhon A. Purba, Silvester Mbete, Hendrik Sepang.
KONGRES XI
Dilaksanakan tahun 1992 di Malang, hasilnya adalah sebagai berikut :
  1. Adanya format baru hubungan antara kader GMNI yang tidak boleh lagi bersifat formal institusional, tetapi diganti jadi bentuk hubungan personal fungional.
  2. Kepengurusan Presidium adalah: Heri Wardono (Ketua), Samsul Hadi (Sekjen), Idham Samudra Bei, Teki Priyanto, Yayat T. Sumitra, Rosani Projo, Yori Rawung, Herdiyanto, Frimansyah.
KONGRES XII
Diadakan di Denpasar tahun 1996. Hasilnya adalah :
  1. Perubahan pembukaan Anggaran Dasar dengan memasukkan klausul “Sosialis Religius”, “Nasionalis Religius”, dan “Progresive Revolusioner”.
  2. Menolak calon tunggal presiden RI, penghapusan program penataran P4, reformasi politik ekonomi RI.
  3. Kepengurusan Presidium terdiri dari: Ayi Vivananda (Ketua), Ahmad Basarah (Sekjen), Agus Sudjiatmiko, Abidin Fikri, Arif Wibowo, IGN Alit Kelakan, Deddy Hermawan, Sahala PL Tobing, Rudita Hartono, Hiranimus Abi, Yudi Ardiwilaga, Viktus Murin.

KONGRES XIII
Terjadi perpecahan dalam Kongres XIII. Sebagian ada yang menyelenggarakan Kongres di Kupang pada Oktober 1999. Sebagian lagi menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Semarang.
Presidium hasil Kongres Kupang adalah : Bambang Romada, Viktus Murin, Arif Fadilla, Aleidon Nainggolan, Haryanto Kiswo, Klementinus R. Sakri, Kristantyo Wisnu Broto, Robby R F Repi, R.S. Hayadi, Renne Kembuan, Wahyuni Refi, Yusuf Blegur, Yori Yapani.
Sementara itu Presidium hasil Kongres Luar Biasa di Semarang pada Februari 2001 adalah sebagai berikut : Sony T. Dana Paramita (Sekjen), Hatmadi, Sidik Dwi Nugroho, Sholi Saputra, Endras Puji Yuwono, Purwanto, Susilo Eko Prayitno, Tonisong Ginting, Donny Tri Istiqomah, Andre WP, Abdullah Sani, Bamabang Nugroho, I Gede Budiatmika.

KONGRES XIV
Barisan hasil kongres Kupang meneruskan kongres XIV di Manado dengan hasil kepengurusan Presidium sebagai berikut : Wahyuni Refi (Ketua), Donny Lumingas (Sekjen), Achmad Suhawi, Marchelino Paiiama, Ade Reza Hariyadi, Hendrikus Ch Ata Palla, Yos Dapa Bili, Hendri Alma Wijaya, Moch. Yasir Sani, Haryanto Kiswo, Jan Prince Permata, Eddy Mujahidin, Ragil Khresnawati, Heard Runtuwene, Nyoman Ray.
Sementara itu barisan hasil KLB Semarang meneruskan kongres XIV di Medan, dengan hasil kepengurusan sebagai berikut : Sonny T. Dana Paramita (Sekjen), Andri, Dwi Putro, Erwin Endaryanta, Fitroh Nurwijoyo Legowo, Mangasai Tua Purba, Monang Tambunan, Alvian Yusuf Feoh, Abdul Hafid.

KONGRES XV (KONGRES PERSATUAN)
Dilaksanakan pada tahun 2006 di Pangkal Pinang, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan penyatuan dua barisan yang ada di GMNI, hasilnya adalah sebagai berikut :
  1. Penetapan AD/ART baru GMNI
  2. Penetapan silabus kaderisasi dan GBPP GMNI
  3. Hasil kepengurusan Presidium dipimpin oleh Deddy Rahmadi sebagai Ketua dan Rendra Falentino Simbolon sebagai Sekretaris Jenderal.

KONGRES XVI
Berlangsung di Wisma Kinasih Bogor pada Desember 2008, hasilnya adalah: Penyempurnaan AD/ART dan GBPP GMNI, Bentuk pimpinan nasional adalah Presidium dengan Ketua Rendra Falentino Simbolon dan Sekretaris Jenderal Cokro Wibowo Sumarsono (MALANG), Penegasan sikap politik sebagai berikut:
  1. Pernyataan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli
  2. Mendesak segera dilaksanakannya Reforma Agraria
  3. Menolak hutang luar negeri dalam bentuk apapun
  4. Cabut UU Badan Hukum Pendidikan, UU Pornografi dan Pornoaksi serta UU Penanaman Modal
  5. Nasionalisasi sepenuhnya aset-aset yang menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai dengan amanat UUD 1945

KONGRES XVII
Berlangsung di Balikpapan pada tahun 2011. Hasil dari kongres tersebut melahirkan kepemimpinan baru di tubuh Presidium GMNI. Terpilih sebagai Ketua adalah Bung Twedy Noviady Ginting dan Bung Saiful Anam sebagai Sekjen.


KONGRES XVIII
Berlangsung di Blitar, Jawa Timur pada tahun 2013. Hasil dari kongres tersebut melahirkan komposisi baru di tubuh Presidium GMNI. Terpilih sebagai Ketua adalah Bung Twedy Noviady Ginting dan Bung Bintar Lulus Pradipta sebagai Sekjen.

KEORGANISASIAN GMNI
A. Sifat
GmnI adalah organisasi yang bersifat independen artinya secara organisatoris GmnI tidak berafiliasi kepada salah satu kekuatan politik tertentu, namun secara personal kader GmnI bebas menyalurkan aspirasi politiknya pada kekuatan sosial politik apapun.
B. Tujuan
GmnI merupakan organisasi kader dan organisasi perjuangan yang bertujuan mendidik kader bangsa dalam mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945 UUD 1945.
C. Azas
GmnI memiliki azas Marhaenisme yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
D. Arah Perjuangan
Sebagai organisasi perjuangan maka setiap kader GmnI tidak saja dituntut berjuang dan berpihak pada kepentingan rakyat tetapi sekaligus berjuang bersama-sama rakyat untuk melawan segala macam bentuk penindasan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan feodalisme.
E. Motto Perjuangan
Motto perjuangan GmnI adalah Pejuang Pemikir ~ Pemikir Pejuang yang memiliki arti Pejuang Rakyat yang selalu memikirkan perjuangan dan kelanjutan perjuangannya dan pemikir (intelektual) yang selalu mengabdikan ilmunya untuk perjuangan rakyat sepenuhnya.
F. Lambang dan Logo GMNI
Lambang GmnI berbentuk perisai bersudut enam, atau tiga sudut diatas, dan tiga sudut dibagian bawah. Komposisi warna dua bidang merah mengapit bidang putih, tegak vertikal. Ditengah perisai terdapat lukisan bintang merah dengan kepala banteng hitam sebagai pusat. Dibawah bintang terdapat logo GmnI. Makna yang terkandung :
  • Tiga Sudut atas perisai melambangkan Marhaenisme.
  • Tiga Sudut bawah perisai melambangkang Tri Dharma Perguruan Tinggi.
  • Warna Merah berarti berani, warna putih berarti suci. Makna komposisi: Keberanian dalam menegakkan kesucian.
  • Bintang melambangkan ketinggian cita-cita, serta keluhuran budi.
  • Kepala banteng melambangkan potensi rakyat Marhaen. Warna hitam melambangkan keteguhan pendirian dalam mengemban tugas perjuangan.
Logo GmnI berbentuk tulisan yang terdiri dari empat huruf yaitu huruf G-m-n-I dengan komposisi sebagai berikut:
  • Huruf “G” yaitu kependekan dari kata “GERAKAN” ditulis dalam huruf kapital (huruf besar).
  • Huruf “M” yaitu kependekan dari kata “MAHASISWA” ditulis dalam huruf kecil.
  • Huruf “N” yaitu kependekan dari kata “NASIONAL” ditulis dalam huruf kecil.
  • Huruf “I” yaitu kependekan dari kata “INDONESIA” ditulis dalam huruf kapital (huruf besar).
Penulisan tadi mengandung makna bahwa, Aspek GERAKAN dan INDONESIA merupakan elemen pokok yang harus ditonjolkan oleh organisasi GmnI, sementara aspek MAHASISWA dan NASIONAL hanya menunjukkan predikat yang mempertegas keberadaan organisasi GmnI.
G. Struktural Keorganisasian
Kerja-kerja organisasi dilakukan dengan membagi tugas dan tanggung jawab pada seluruh tingkatan struktur, adapun tingkatan struktur organisasi GmnI sebagai berikut :

  1. Presidium, Pimpinan organisasi tertinggi, berkedudukan di Ibu Kota.
  2. Koordinator Daerah (KORDA), Kepanjangan tangan dari presidium, berkedudukan di provinsi.
  3. Dewan Pimpinan Cabang (DPC), Pimpinan organisasi yang berada di tingkatan kabupaten/kota.
  4. Komisariat, Pimpinan organisasi yang berada di tingkat Perguruan Tinggi/Fakultas.