Tuesday, June 10, 2014

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN



REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN
Oleh : Eki Robbi Kusuma

Pendahuluan
Negara kita adalah Negara agraris. Begitulah sepenggal kata yang saat ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Pertanyaan itu dikarenakan impor besar-besaran bahan makanan mulai dari beras, garam, bawang, dan hasil pertanian lain. Impor ini karena tidak mencukupinya hasil pertanian dalam negeri untuk konsumsi domestic sehingga dibutuhkan pasokan impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Era Orde baru pernah melakukan politik pangan sebagai bentuk penerjemahan Revolusi Hijau dengan target swasembada pangan. Kebijakan pemerintah orde Baru ini mebawa perubahan baik positi dan negatif pada masyarakat desa yang bersentuhan langsung dengan pertanian. Karena pertanian secara langsung menjadi tumpuan masyarakat desa membuat perubahan sedikit saja terhadap sector pertanian akan membawa dampak pada masyarakat desa.
Setelah orde baru, politik pangan menjadi berbeda yang mana dulunya menekankan pada swasembada pangan tetapi sekarang lebih pada mekanisme pasar. Sehingga impor bahan pangan menjadi hal yang wajar dan jargon Negara agraris menjadi kabur dalam prakteknya. Hal ini menjadikan kelangkaan bawang merah dan putih yang dewasa ini terjadi adalah hal yang memang suatu ketika akan terjadi. Mekanisme pasarlah yang bermain dalam proses kelangkaan itu. Berangkat dari paparan diatas maka artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perubahan sosial pertanian desa akibat dari Revolusi Hijau.

Pangan dan perubahan sosial
            Saat ini , politik-ekonomi pangan Indonesia sudah jauh bergeser. Imperative pasar bebas telah menggeser kuasa Negara dalam mengatur perdangan pangan, sedemikian rupa sehingga monopoli impor bahan pangan tidak bias lagi diberlakukan, sehingga subsidi kepada bulog tidak bias dilanjutkan. Mesin kekuasann yang dahulu dipelihara Orde Baru, dan sekaligus menjadi penghambat bekerjanya mekanisme pasar dalam tata kelola pangan telah kehilangan sebagian besar kekuatannya. (Fahmid, 2004:xviii-xix)
            Pernyataan diatas menjadi hal yang sedang dialami Negara ini sekarang. Demikian yang perlu dicermati mengenai hal itu adalah awal dari politik ekonomi pangan. Mula dari ini adalah revolusi Hijau yang membuat agenda Ekonomi Politik dan modernisasi sektor pertanian. Fahmid (2004: 24-25) mengatakan bahwa Implikasi yang sangat esensial dari Program Revolusi Hijau dalah membagi struktur sosial petani di pedesaan menjadi dua. Kelompok pertama adalah sebagain kecil masyarakat desa menjadi petani komersial dan kelompok lainnya yang mayoritas menjadi buruh tani, kehidupan mereka sangat bergantung pada pendapatan gaji harian.

Revolusi Hijau di Indonesia
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). (Wikipedia)
Di Indonesia setelah merdeka pada tahun 1945, perhatian utama pemerintahan Sukarno adalah bagaimana meningkatkan persediaan beras. Hal ini digunakan untuk menyediakan stok beras. Tahun 1956 indonesia telah mengimpor hamper 800.000 ton. Tahun 1962 pemerintah memulai program baru dan di tahun itu pula Indonesia mampu mengimpor lebih dari 1 juta ton.
Program untuk menahan jatuhnya harga beras ini tidak mempertimbangkan keuntungan bagi para petani. Produksi beras di jawa tahun 1965 tidak lebih tinggi jika dibandingkan sebelum perang dunia II. Pada era Suharto kondisi ini di respon dengan program revolusi hijau diantaranya adalah pengunaan jenis-jenis bibit baru, pupuk, mesin-mesin pertanian, penggunaan lahan, pembangunan sarana publik local, bimbingan masyarakat, koperasi unit desa, dan subsidi harga pupuk. (Fahmid, 2004: 84-85)

Perubahan-perubahan akibat Revolusi Hijau
            Perkembangan kondisi pertanian di Indonesia yang diakibatkan Revolusi Hijau tergambar dari produktivitas dan struktur pertanian dan kecenderungan penggunaan input-input revolusi pertanian seperti mesin, pupuk, bibit dan irigasi. Fahmid (2004:132-133) mencatat secara keseluruhan selama 40 tahun (1962-2001) diterapkannya program Revolusi Hijau di Indonesia, rata-rata nilai pertumbuhan produksi pertanian, mesin-mesin, buruh, irigasi, konsumsi, bibit, pupuk dan populasi perkotaan dan pedesaan tumbuh mengesankan. Secara analitis dapat dinyatakan , bahwa meningkatnya produksi pertanian tidak sepadan dengan kenaikan konsumsi pupuk, penggunaan mesin dan bibit, tingkat tertinggi produksi pertanian di capai antara tahun 1979-1983 dan pemakaian pupuk tertinggi pada saat penggunaan mesin meningkat secara signifikan antara tahun 1984-1988.
            Dalam ranah sosial terjadi perubahan struktur sosial, populasi pertanian terus menerus mengalami penurunan dan secara bersamaan penduduk desa juga turun. Penurunan ini terjadi karena banyak factor, salah satunya karena lahan pertanian yang dengan cepat disulap menjadi bangunan. Di sisi lain program-program yang dicanangkan pemerintahan orde baru hanya menguntungkan petani yang memiliki lahan dan elite local, sehingga banyak dari pemilik lahan dan elite local memperluas lahan dan merugikan petani penggarap. Famid (2004:139) menjelaskan bahwa populasi petani di Indonesia masih petani tanpa lahan garapan. Mereka yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini kemudian menjadi pengangguran. Sebagian yang lain memilih bekerja di sector industry yang ditawarkan di perkotaan.
Revolusi hijau dirancang untuk memodernisasi pertanian dengan menggunakan padat modal, teknologi, keahlian yang cukup dan individualism. Program tersebut dibuat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik lewat swasembada pangan. Secara teoritis, moral ekonomi para petani tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Sebelumnya para petani Indonesia hidup dalam lingkungan komunal yang jauh dari nilai-nilai kapitalisme, penduduk biasanya hidup bergotong royong yang mencerminkan nilai-nilai tradisional hidup mereka. Revolusi Hijau memiliki kemampuan untuk merubah tatanan tradisional menjadi institusi pasar modern yang hanya menguntungkan para pemimpin pedesaan dan elite local. Karena itu sangat mudah diamati implikasi negatif dari revolusi hijau adalah dikenalnya mentalitas individualism sebagai suatu tanda transisi kearah kapitalisme pertanian.
Perubahan struktur sosial di pedesaan merupakan kenyataan dari ekses Revolusi Hijau. Perubahan itu berdampak pula pada perubahan politik. Hal ini senada dengan teori system (Sztompka, 2008:3-4) yang membedakan perubahan sosial dalam beberapa jenis tergantung pada sudut pengamatan: apakah dari sudut fragmen atau dimensi system sosial. Ini disebabkan keadaan system sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen.
Perubahan politik yang dicatat oleh  Fahmid (2004:152) ada 4 kategori: peningkatan konflik regional, perubahan bentuk perjuangan kelas bawah, membesarnya gelombang kaum proletarian dan percepatan perubahan. Peningkatan konflik terhadap pemerintah pusat bias muncul sewaktu-waktu jika pasokan pertanian menurun. Contoh kasus kelangkaan bawang yang menyebabkan kenaikan harga bawang secara langsung menyulut benih-benih kebencian terhadap pemerintah pusat. Di satu sisi Revolusi hijau ini adalah bentuk lain eksploitasi oleh kapitalis karena membentuk ketergantungan.
Ketergantungan itu dimulai dari bibit yang tidak bisa digunakan berulang kali sehingga untuk mendapatkan bibit unggul harus membeli. Alat-alat pertanian seperti traktor juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan tetapi disisi yang lain tidak serta merta dapat membuat produksi pertanian meningkat. Pupuk kimia, pertisida dan lain sebagainya menjadikan petani tidak dapat lepas dari produk industri Kapital.

Penutup
            Penerapan Revolusi Hijau membawa perubahan sosial masyarakat pedesaan yang perlu dipelajari lebih lanjut agar dapat membawa dampak yang signifikan dalam ketersediaan bahan pangan. Bagaimanapun pangan menjadi sector penting dalam kelangsungan suatu bangsa, sector ini bias menjadi pemicu masalah-masalah sosial yang lebih kompleks dari politik hingga pertahanan. Untuk itu penelitian lanjutan mengenai perubahan sosial pedesaan terkait pertanian perlu dilakukan dengan penuh seksama. Hal ini menjadi begitu mendesak karena dewasa ini pangan dan pedesaan mengalami tren penurunan sehingga langkah-langkah kongkret pemerintah diperlukan dalam pembangunan sektor ini.
           
Rujukan
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Fahmid, Imam Mujahidin. 2004. Gagalnya Politik Pangan di Bawah Rezim Orde Baru : Kajian Ekonomi Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota dan ISPEI.
Wikipedia. Revolusi-Hijau. Diakses pada 4 April 2013.