Gerakan Mahasiswa di tengah ideologi transnasional

Mahasiswa menjadi golongan yang memiliki posisi penting dalam proses perubahan terutama di Indonesia, sejauh sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia..

Hanya Pancasila yang bisa

Pancasila sangat relevan dalam menjawab tantangan globalisasi

Nasionalisme Bahasa

Nasionalisme tidak hanya secara wilayah fisik saja tetapi juga mentalitas orang itu dalam kebanggaanya terhadap bangsanya. Salah satunya adalah melalui bahasa yang sehari-hari digunakan untuk berkomunikasi. .

Friday, March 6, 2015




Mahasiswa Malang Bakar Foto Tony Abbott

Mahasiswa Malang Bakar Foto Tony Abbott



 TEMPO.CO, Malang - Mahasiswa Malang membakar foto Perdana Menteri Australia Tony Abbott di bundaran Alun-Alun Tugu Kota Malang, Selasa, 24 Februari 2015. Pembakaran foto ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap penyataan Abbott yang mengungkit bantuan bencana tsunami Aceh.

"Abbott telah menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia," kata koordinator aksi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Andri Wanto.

Dalam orasinya, Andri mengecam Abbott yang memprotes rencana eksekusi mati dua anggota Bali Nine, yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Abbott dianggap melecehkan bangsa Indonesia. Abbott, ujar dia, seolah menjadi pahlawan dengan menyinggung soal bantuan kemanusiaan tsunami Aceh. Padahal, saat tsunami terjadi, Abbot dianggap tak mengambil peran penting.

Untuk itu, mereka menuntut Abbott meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Permintaan maaf bisa dilakukan secara langsung atau melalui media massa. "Kami akan terus menggelar aksi penggalangan koin sampai Abbot meminta maaf."

Mereka mendekati para pengguna jalan agar memberikan sumbangan untuk mengembalikan bantuan kemanusiaan tsunami Aceh. Peserta aksi mengedarkan kardus bekas minuman bertuliskan "Koin untuk Australia". Aksi ini sudah berlangsung dua hari. Pada hari pertama, mereka telah mengumpulkan sebanyak Rp 298 ribu.

Seluruh dana yang terkumpul akan disalurkan ke Konsulat Jenderal Australia di Surabaya. Mereka berjanji akan terus menggalang dana sampai dua anggota Bali Nine dieksekusi atau Abbott meminta maaf. Mereka juga membentangkan spanduk bertulis "Koin untuk Australia" dan membawa bendera merah putih.

GMNI mendukung hukuman mati bagi gembong narkoba. Sebab, narkoba terbukti telah menghancurkan generasi muda dan anak bangsa. Jadi, hukuman mati dirasa tepat untuk mencegah peredaran narkoba. Australia, tutur dia, tak konsisten soal hukuman mati. Saat eksekusi pelaku Bom Bali, pemerintah Australia memberikan dukungan. Namun saat ini Australia memprotes saat warga negaranya yang menjadi pengedar narkoba dihukum mati.






sumber : http://www.tempo.co/read/news/2015/02/24/078644955/Mahasiswa-Malang-Bakar-Foto-Tony-Abbott

Ketika Pemuda Memilih

tulisan ini telah diterbitkan dan dalam versi online di http://surabaya.tribunnews.com/2014/07/22/ketika-pemuda-memilih

Oleh : Eki Robbi Kusuma *

PEMUDA memilih untuk Indonesia begitulah tema talk show kelompok Cipayung yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Sabtu (5/7) yang dimulai pukul 15.00 WIB sampai selesai bertempat di aula pasca sarjana Universitas Tribhuana Tunggadewi, Malang.

Acara tersebut cukup menarik karena dapat menghadirkan pembicara para ketua cabang organisasi kelompok Cipayung di Kota Malang yang antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Darmawan Puteratama, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Eki Robbi Kusuma, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Jhon, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Nus, dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Habiburahman El-Stifiani , yang bertindak sebagai tuan rumah. Hadir juga Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam yang diwakili oleh Puspa Dewi dari Jakarta.
Dalam talk show tersebut nampak banyak warna isu yang muncul dari pemaparan materi para pembicara terkait tema, karena isu yang diketengahkan adalah pemilu presiden 9 Juli. Warna perbedaan itu muncul karena latar belakang ideologis dan juga praktis masing-masing organisasi mahasiswa tersebut menyikapi pemilu presiden.

Menjadi menarik ketika dalam proses dialog panjang acara tersebut ada kesatuan warna yang mengarah pada sebuah isu bersama yang mana poin-poinya meliputi: para pemuda khususnya mahasiswa selayaknya tidak golput dan memilih dengan rasional serta kritis. Selanjutnya, adalah mahasiswa yang menjadi motor perubahan tidak apolitis, selayaknya ikut dalam proses membangun demokrasi baik sebelum pilpres maupun sesudah pilpres.

Menjadi isu yang cukup dikhawatirkan juga adalah konflik horizontal, baik sebelum maupun sesudah pilpres. Mengingat potensi konflik yang begitu tinggi di setiap wilayah. Para pembicara mengingatkan untuk para mahasiswa khususnya, tidak memperkeruh suasana jika terjadi konflik.

Akan lebih baik jika mahasiswa bisa menjadi aktor-aktor yang mendamaikan mereka yang berkonflik agar potensi konflik horizontal dan disintegrasi bangsa dapat ditekan. Dalam acara juga dibagikan dua buku dari Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam untuk semua audiens. Buku tersebut mencakup buku saku pemilih dan 10 agenda politik perempuan mewujudkan Indonesia beragam.







 

Aktivis GMNI Malang Bakar Foto Perdana Menteri Australia

Selasa, 24 Februari 2015 18:10 WIB

Aktivis GMNI Malang Bakar Foto Perdana Menteri Australia
 
 
 
SURYAMALANG.COM/Hayu Yudha Prabowo
Foto PM Australia Tony Abbot dibakar oleh aktivis GMNI Kota Malang di depan DPRD setempat, Selasa (24/2/2015). 
 
 
 
SURYAMALANG.COM, KLOJEN - Aktivis asal Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Malang,jawa imur membakar foto Perdana Menteri Australia Tony Abbot di depan gedung DPRD Kota Malang, Selasa (24/2/2015).
Mereka kesal dengan pernyataan Abbot yang mengungkit-ungkit dana bantuan kemanusiaan pada tragedi tsunami Aceh 2004 lalu.
Baca Juga : Mahasiswa Blusukan Demi Koin ke DPRD dan Balai Kota Malang
Koordinator aksi Andri Wanto menilai, pernyataan Abbot tidak menggambarkan bentuk kesukarelawanan. Bantuan yang diberikan berbeda jauh dengan rencana pemerintah Indonesia mengeksekusi dua terpidana mati asal Australia.
Para mahasiswa juga mendesak agar pemerintah tidak terintervensi pernyataan pihak luar terkait eksekusi mati terpidana kasus narkoba.
"Pemerintah harus tegas. Secepatnya dilaksanakan eksekusi itu sesuai dengan prosedur yang tepat," kata Andri.
Aksi bakar foto Abbot tidak mendapat penjagaan yang ketat dari pihak keamanan. Setelah membakar foto, para aktivis bergerak ke dalam kantor DPRD Kota Malang melakukan aksi penggalangan dana.


sumber : http://suryamalang.tribunnews.com/2015/02/24/aktivis-gmni-malang-bakar-foto-perdana-menteri-australia

Tuesday, June 10, 2014

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN



REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN
Oleh : Eki Robbi Kusuma

Pendahuluan
Negara kita adalah Negara agraris. Begitulah sepenggal kata yang saat ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Pertanyaan itu dikarenakan impor besar-besaran bahan makanan mulai dari beras, garam, bawang, dan hasil pertanian lain. Impor ini karena tidak mencukupinya hasil pertanian dalam negeri untuk konsumsi domestic sehingga dibutuhkan pasokan impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Era Orde baru pernah melakukan politik pangan sebagai bentuk penerjemahan Revolusi Hijau dengan target swasembada pangan. Kebijakan pemerintah orde Baru ini mebawa perubahan baik positi dan negatif pada masyarakat desa yang bersentuhan langsung dengan pertanian. Karena pertanian secara langsung menjadi tumpuan masyarakat desa membuat perubahan sedikit saja terhadap sector pertanian akan membawa dampak pada masyarakat desa.
Setelah orde baru, politik pangan menjadi berbeda yang mana dulunya menekankan pada swasembada pangan tetapi sekarang lebih pada mekanisme pasar. Sehingga impor bahan pangan menjadi hal yang wajar dan jargon Negara agraris menjadi kabur dalam prakteknya. Hal ini menjadikan kelangkaan bawang merah dan putih yang dewasa ini terjadi adalah hal yang memang suatu ketika akan terjadi. Mekanisme pasarlah yang bermain dalam proses kelangkaan itu. Berangkat dari paparan diatas maka artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perubahan sosial pertanian desa akibat dari Revolusi Hijau.

Pangan dan perubahan sosial
            Saat ini , politik-ekonomi pangan Indonesia sudah jauh bergeser. Imperative pasar bebas telah menggeser kuasa Negara dalam mengatur perdangan pangan, sedemikian rupa sehingga monopoli impor bahan pangan tidak bias lagi diberlakukan, sehingga subsidi kepada bulog tidak bias dilanjutkan. Mesin kekuasann yang dahulu dipelihara Orde Baru, dan sekaligus menjadi penghambat bekerjanya mekanisme pasar dalam tata kelola pangan telah kehilangan sebagian besar kekuatannya. (Fahmid, 2004:xviii-xix)
            Pernyataan diatas menjadi hal yang sedang dialami Negara ini sekarang. Demikian yang perlu dicermati mengenai hal itu adalah awal dari politik ekonomi pangan. Mula dari ini adalah revolusi Hijau yang membuat agenda Ekonomi Politik dan modernisasi sektor pertanian. Fahmid (2004: 24-25) mengatakan bahwa Implikasi yang sangat esensial dari Program Revolusi Hijau dalah membagi struktur sosial petani di pedesaan menjadi dua. Kelompok pertama adalah sebagain kecil masyarakat desa menjadi petani komersial dan kelompok lainnya yang mayoritas menjadi buruh tani, kehidupan mereka sangat bergantung pada pendapatan gaji harian.

Revolusi Hijau di Indonesia
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). (Wikipedia)
Di Indonesia setelah merdeka pada tahun 1945, perhatian utama pemerintahan Sukarno adalah bagaimana meningkatkan persediaan beras. Hal ini digunakan untuk menyediakan stok beras. Tahun 1956 indonesia telah mengimpor hamper 800.000 ton. Tahun 1962 pemerintah memulai program baru dan di tahun itu pula Indonesia mampu mengimpor lebih dari 1 juta ton.
Program untuk menahan jatuhnya harga beras ini tidak mempertimbangkan keuntungan bagi para petani. Produksi beras di jawa tahun 1965 tidak lebih tinggi jika dibandingkan sebelum perang dunia II. Pada era Suharto kondisi ini di respon dengan program revolusi hijau diantaranya adalah pengunaan jenis-jenis bibit baru, pupuk, mesin-mesin pertanian, penggunaan lahan, pembangunan sarana publik local, bimbingan masyarakat, koperasi unit desa, dan subsidi harga pupuk. (Fahmid, 2004: 84-85)

Perubahan-perubahan akibat Revolusi Hijau
            Perkembangan kondisi pertanian di Indonesia yang diakibatkan Revolusi Hijau tergambar dari produktivitas dan struktur pertanian dan kecenderungan penggunaan input-input revolusi pertanian seperti mesin, pupuk, bibit dan irigasi. Fahmid (2004:132-133) mencatat secara keseluruhan selama 40 tahun (1962-2001) diterapkannya program Revolusi Hijau di Indonesia, rata-rata nilai pertumbuhan produksi pertanian, mesin-mesin, buruh, irigasi, konsumsi, bibit, pupuk dan populasi perkotaan dan pedesaan tumbuh mengesankan. Secara analitis dapat dinyatakan , bahwa meningkatnya produksi pertanian tidak sepadan dengan kenaikan konsumsi pupuk, penggunaan mesin dan bibit, tingkat tertinggi produksi pertanian di capai antara tahun 1979-1983 dan pemakaian pupuk tertinggi pada saat penggunaan mesin meningkat secara signifikan antara tahun 1984-1988.
            Dalam ranah sosial terjadi perubahan struktur sosial, populasi pertanian terus menerus mengalami penurunan dan secara bersamaan penduduk desa juga turun. Penurunan ini terjadi karena banyak factor, salah satunya karena lahan pertanian yang dengan cepat disulap menjadi bangunan. Di sisi lain program-program yang dicanangkan pemerintahan orde baru hanya menguntungkan petani yang memiliki lahan dan elite local, sehingga banyak dari pemilik lahan dan elite local memperluas lahan dan merugikan petani penggarap. Famid (2004:139) menjelaskan bahwa populasi petani di Indonesia masih petani tanpa lahan garapan. Mereka yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini kemudian menjadi pengangguran. Sebagian yang lain memilih bekerja di sector industry yang ditawarkan di perkotaan.
Revolusi hijau dirancang untuk memodernisasi pertanian dengan menggunakan padat modal, teknologi, keahlian yang cukup dan individualism. Program tersebut dibuat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik lewat swasembada pangan. Secara teoritis, moral ekonomi para petani tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Sebelumnya para petani Indonesia hidup dalam lingkungan komunal yang jauh dari nilai-nilai kapitalisme, penduduk biasanya hidup bergotong royong yang mencerminkan nilai-nilai tradisional hidup mereka. Revolusi Hijau memiliki kemampuan untuk merubah tatanan tradisional menjadi institusi pasar modern yang hanya menguntungkan para pemimpin pedesaan dan elite local. Karena itu sangat mudah diamati implikasi negatif dari revolusi hijau adalah dikenalnya mentalitas individualism sebagai suatu tanda transisi kearah kapitalisme pertanian.
Perubahan struktur sosial di pedesaan merupakan kenyataan dari ekses Revolusi Hijau. Perubahan itu berdampak pula pada perubahan politik. Hal ini senada dengan teori system (Sztompka, 2008:3-4) yang membedakan perubahan sosial dalam beberapa jenis tergantung pada sudut pengamatan: apakah dari sudut fragmen atau dimensi system sosial. Ini disebabkan keadaan system sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen.
Perubahan politik yang dicatat oleh  Fahmid (2004:152) ada 4 kategori: peningkatan konflik regional, perubahan bentuk perjuangan kelas bawah, membesarnya gelombang kaum proletarian dan percepatan perubahan. Peningkatan konflik terhadap pemerintah pusat bias muncul sewaktu-waktu jika pasokan pertanian menurun. Contoh kasus kelangkaan bawang yang menyebabkan kenaikan harga bawang secara langsung menyulut benih-benih kebencian terhadap pemerintah pusat. Di satu sisi Revolusi hijau ini adalah bentuk lain eksploitasi oleh kapitalis karena membentuk ketergantungan.
Ketergantungan itu dimulai dari bibit yang tidak bisa digunakan berulang kali sehingga untuk mendapatkan bibit unggul harus membeli. Alat-alat pertanian seperti traktor juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan tetapi disisi yang lain tidak serta merta dapat membuat produksi pertanian meningkat. Pupuk kimia, pertisida dan lain sebagainya menjadikan petani tidak dapat lepas dari produk industri Kapital.

Penutup
            Penerapan Revolusi Hijau membawa perubahan sosial masyarakat pedesaan yang perlu dipelajari lebih lanjut agar dapat membawa dampak yang signifikan dalam ketersediaan bahan pangan. Bagaimanapun pangan menjadi sector penting dalam kelangsungan suatu bangsa, sector ini bias menjadi pemicu masalah-masalah sosial yang lebih kompleks dari politik hingga pertahanan. Untuk itu penelitian lanjutan mengenai perubahan sosial pedesaan terkait pertanian perlu dilakukan dengan penuh seksama. Hal ini menjadi begitu mendesak karena dewasa ini pangan dan pedesaan mengalami tren penurunan sehingga langkah-langkah kongkret pemerintah diperlukan dalam pembangunan sektor ini.
           
Rujukan
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Fahmid, Imam Mujahidin. 2004. Gagalnya Politik Pangan di Bawah Rezim Orde Baru : Kajian Ekonomi Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota dan ISPEI.
Wikipedia. Revolusi-Hijau. Diakses pada 4 April 2013.

PEMILU AMAN, RAKYAT NYAMAN



PEMILU AMAN, RAKYAT NYAMAN


Pemilu Presiden yang akan diselenggarakan pada 9 Juli nanti menjadi pesta demokrasi akbar rakyat Indonesia. KPU telah menetapkan hanya ada dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung dalam pilpres kali ini, yaitu pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Banyak dukungan telah digalang oleh tim sukses masing-masing calon dan banyak pula ormas-ormas, kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon. Para pendukung baik fanatik maupun yang hanya simpatik membela dan menyuarakan keunggulan masing-masing calon yang didukungnya.
Suhu politik menjelang pilpres 2014 ini menjadi sangat tinggi, ditambah beberapa kampanye negative dari masing-masing pasangan calon ditujukan untuk pasangan calon lain. Dalam suasana demokrasi hal ini menjadi hal yang biasa, tetapi yang perlu diwasapadai adalah potensi konflik yang terjadi pada konstelasi pilpres 2014.
Indonesia Police Watch (IPW) menilai, 40 hari menjelang Pilpres 2014, situasi dan kondisi di masyarakat kian terbelah di antara dua pasangan capres dan cawapres, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Eskalasi sosial politik menjelang Pilpres 2014 terlihat lebih panas ketimbang pilpres-pilpres sebelumnya. Hal ini disebabkan hanya ada dua 
pasangan calon."Sehingga "perang terbukanya" lebih nyata dan tajam. Dalam kondisi seperti ini Polri perlu membuat atau mengupdate peta situasi kamtibmas teraktual. Sehingga Polri bisa memetakan daerah-daerah potensial terhadap ancaman kamtibmas maupun ancaman konflik sosial menjelang maupun sesudah Pilpres 2014," Ketua Presidium IPW,
ungkap Neta S Pane dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Jumat (30/5/2014).
Potensi ancaman konflik sosial yang sudah terlihat belakangan ini terjadi di ibukota Jakarta dan Jogjakarta. Di Jakarta, Posko Relawan Jokowi-JK di Setiabudi dan baliho bergambar Megawati di Duri Pulo dibakar orang tak dikenal, beberapa hari lalu. 

Di Jogja, aksi demo mahasiswa menentang pencalonan Prabowo-Hatta berlangsung ricuh dan Kamis (29/5/2014) malam rumah pimpinan Relawan Jokowi-JK Jogjakarta Julius Felicianus diserang orang tak dikenal. Julius sendiri luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit.

"IPW melihat sejumlah daerah mulai menunjukkan suhu politiknya meninggi, yakni Aceh, Sumut, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Jogja, Jateng, Jatim, Sulsel, Sulteng, NTB, Kalbar, dan Papua. Apa yang terjadi di Jakarta dan Jogja adalah bibit-bibit konflik dan gambaran bahwa Pilpres 2014 akan panas dengan konflik-konflik horizontal antar pendukung capres," ungkap Neta S Pane.

Pernyataan yang disampaikan oleh Neta S. Pane setidaknya menjadi peringatan dini, tidak hanya bagi pihak pemangku kewajiban tetapi juga bagi rakyat pada umumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat belum memiliki sistem pencegahan konflik yang selama ini dilakukan adalah penanganan konflik oleh pihak berwajib/Kepolisian.

Situasi pilpres akan menjadi konflik horizontal jika penyelenggara Pemilu (KPU ataupun Bawaslu) tidak netral. Masalah-masalah yang terjadi dalam KPU pun masih banyak. Seperti penetapan DPT yang masih bermasalah. Jika sedikit saja penyelenggara Pemilu terindikasi tidak netral (bermasalah) di dalam suatu wilayah maka massa pasangan calon yang merasa dirugikan akan berpotensi menyebabkan konflik.

Dilansir dari Koran Sindo online (12/5) Awalnya MK menyebutkan jumlah perkara yang diajukan parpol dan calon anggota DPD hanya 702. Namun setelah dilakukan validasi mendalam terhadap seluruh berkas permohonan, ternyata jumlah gugatan mencapai 767 perkara. ”Perkara yang diajukan parpol maupun perseorangan dalam buku registrasi perkara konstitusi, sebanyak 767. Rinciannya, 735 perkara yang diajukan parpol, dan 32 perkara oleh calon DPD,” kata Hamdan Zoelva Ketua MK

Berita ini terkait perkara pemilu Legislatif 9 April lalu. Tidak menutup kemungkinan jika perkara gugatan MK yang banyak ini berulang pada pilpres 9 Juli mendatang. Ditambah lagi pernyataan komisioner KPU yang dilansir dari Kompas.com

Komisioner KPI Idy Muzayyad menyebut ada dua stasiun televisi berita terindikasi menayangkan berita secara tidak berimbang terkait dua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden. Surat peringatan sudah dilayangkan.

“Yang cenderung parah TV news. Ada dua TV news yang memiliki afiliasi politik yang berbeda,” ujar Idy saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (31/5/2014). “Metro TV memberitakan Jokowi, TV One memberitakan Prabowo, itu silakan. Tapi kan harus proporsional.”

Sentimen-sentimen negative dan positif terus diwacanakan oleh timses masing-masing capres yang pasti akan tidak berimbang. Sebagai masyarakat kita harus cerdas memilih informasi dan juga bolehlah kita mendukung salah satu pasangan capres tetapi yang perlu diingat adalah siapapun yang terpilih, rakyatlah yang harus menang, jangan mudah terprovokasi, kita adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Perlu diwasapadai juga adalah isu SARA yang cukup sensitif. Isu ini berpotensi menjadikan pemicu konflik horizontal jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai masyarakat yang entah peduli atau tidak pada politik negeri ini harusnya memahami tentang potensi-potensi konflik ini. Pemahaman ini penting agar masyarakat terhindar dari provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menginginkan negeri ini tidak aman. Di satu sisi, ketika konflik terjadi maka akan ada banyak orang yang tidak tahu menahu akan ikut menanggung akibatnya. Kerusuhan 1998 setidaknya dapat menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini, setidaknya dalam mencegah agar tidak terjadi lagi.

Mari kita bersama-sama menahan diri, tidak mudah terprovokasi dan mengkampanyekan PEMILU DAMAI, PEMILU AMAN, SIAPAPUN PRESIDENNYA RAKYATLAH YANG HARUS MENANG.

Merdeka!