REVOLUSI
HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN
Oleh
: Eki Robbi Kusuma
Pendahuluan
Negara
kita adalah Negara agraris. Begitulah sepenggal
kata yang saat ini perlu dipertanyakan kebenarannya. Pertanyaan itu dikarenakan
impor besar-besaran bahan makanan mulai dari beras, garam, bawang, dan hasil
pertanian lain. Impor ini karena tidak mencukupinya hasil pertanian dalam
negeri untuk konsumsi domestic sehingga dibutuhkan pasokan impor untuk memenuhi
permintaan dalam negeri.
Era Orde baru pernah
melakukan politik pangan sebagai bentuk penerjemahan Revolusi Hijau dengan
target swasembada pangan. Kebijakan pemerintah orde Baru ini mebawa perubahan
baik positi dan negatif pada masyarakat desa yang bersentuhan langsung dengan
pertanian. Karena pertanian secara langsung menjadi tumpuan masyarakat desa
membuat perubahan sedikit saja terhadap sector pertanian akan membawa dampak
pada masyarakat desa.
Setelah orde baru,
politik pangan menjadi berbeda yang mana dulunya menekankan pada swasembada
pangan tetapi sekarang lebih pada mekanisme pasar. Sehingga impor bahan pangan
menjadi hal yang wajar dan jargon Negara agraris menjadi kabur dalam
prakteknya. Hal ini menjadikan kelangkaan bawang merah dan putih yang dewasa
ini terjadi adalah hal yang memang suatu ketika akan terjadi. Mekanisme
pasarlah yang bermain dalam proses kelangkaan itu. Berangkat dari paparan
diatas maka artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai perubahan sosial
pertanian desa akibat dari Revolusi Hijau.
Pangan
dan perubahan sosial
Saat
ini , politik-ekonomi pangan Indonesia sudah jauh bergeser. Imperative pasar
bebas telah menggeser kuasa Negara dalam mengatur perdangan pangan, sedemikian
rupa sehingga monopoli impor bahan pangan tidak bias lagi diberlakukan,
sehingga subsidi kepada bulog tidak bias dilanjutkan. Mesin kekuasann yang
dahulu dipelihara Orde Baru, dan sekaligus menjadi penghambat bekerjanya
mekanisme pasar dalam tata kelola pangan telah kehilangan sebagian besar
kekuatannya. (Fahmid, 2004:xviii-xix)
Pernyataan
diatas menjadi hal yang sedang dialami Negara ini sekarang. Demikian yang perlu
dicermati mengenai hal itu adalah awal dari politik ekonomi pangan. Mula dari
ini adalah revolusi Hijau yang membuat agenda Ekonomi Politik dan modernisasi
sektor pertanian. Fahmid (2004: 24-25) mengatakan bahwa Implikasi yang sangat
esensial dari Program Revolusi Hijau dalah membagi struktur sosial petani di
pedesaan menjadi dua. Kelompok pertama adalah sebagain kecil masyarakat desa
menjadi petani komersial dan kelompok lainnya yang mayoritas menjadi buruh
tani, kehidupan mereka sangat bergantung pada pendapatan gaji harian.
Revolusi
Hijau di Indonesia
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai
untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya
pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di
banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata
adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan
di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok),
seperti India,
Bangladesh,
Tiongkok,
Vietnam,
Thailand,
serta Indonesia,
untuk menyebut beberapa negara. Norman
Borlaug, penerima penghargaan Nobel
Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama
gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang
mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). (Wikipedia)
Di Indonesia setelah
merdeka pada tahun 1945, perhatian utama pemerintahan Sukarno adalah bagaimana
meningkatkan persediaan beras. Hal ini digunakan untuk menyediakan stok beras.
Tahun 1956 indonesia telah mengimpor hamper 800.000 ton. Tahun 1962 pemerintah
memulai program baru dan di tahun itu pula Indonesia mampu mengimpor lebih dari
1 juta ton.
Program untuk menahan
jatuhnya harga beras ini tidak mempertimbangkan keuntungan bagi para petani.
Produksi beras di jawa tahun 1965 tidak lebih tinggi jika dibandingkan sebelum
perang dunia II. Pada era Suharto kondisi ini di respon dengan program revolusi
hijau diantaranya adalah pengunaan jenis-jenis bibit baru, pupuk, mesin-mesin
pertanian, penggunaan lahan, pembangunan sarana publik local, bimbingan
masyarakat, koperasi unit desa, dan subsidi harga pupuk. (Fahmid, 2004: 84-85)
Perubahan-perubahan
akibat Revolusi Hijau
Perkembangan
kondisi pertanian di Indonesia yang diakibatkan Revolusi Hijau tergambar dari
produktivitas dan struktur pertanian dan kecenderungan penggunaan input-input
revolusi pertanian seperti mesin, pupuk, bibit dan irigasi. Fahmid
(2004:132-133) mencatat secara keseluruhan selama 40 tahun (1962-2001)
diterapkannya program Revolusi Hijau di Indonesia, rata-rata nilai pertumbuhan
produksi pertanian, mesin-mesin, buruh, irigasi, konsumsi, bibit, pupuk dan
populasi perkotaan dan pedesaan tumbuh mengesankan. Secara analitis dapat
dinyatakan , bahwa meningkatnya produksi pertanian tidak sepadan dengan
kenaikan konsumsi pupuk, penggunaan mesin dan bibit, tingkat tertinggi produksi
pertanian di capai antara tahun 1979-1983 dan pemakaian pupuk tertinggi pada
saat penggunaan mesin meningkat secara signifikan antara tahun 1984-1988.
Dalam
ranah sosial terjadi perubahan struktur sosial, populasi pertanian terus
menerus mengalami penurunan dan secara bersamaan penduduk desa juga turun.
Penurunan ini terjadi karena banyak factor, salah satunya karena lahan
pertanian yang dengan cepat disulap menjadi bangunan. Di sisi lain
program-program yang dicanangkan pemerintahan orde baru hanya menguntungkan
petani yang memiliki lahan dan elite local, sehingga banyak dari pemilik lahan
dan elite local memperluas lahan dan merugikan petani penggarap. Famid
(2004:139) menjelaskan bahwa populasi petani di Indonesia masih petani tanpa
lahan garapan. Mereka yang tidak mendapatkan keuntungan dari program ini
kemudian menjadi pengangguran. Sebagian yang lain memilih bekerja di sector
industry yang ditawarkan di perkotaan.
Revolusi hijau
dirancang untuk memodernisasi pertanian dengan menggunakan padat modal,
teknologi, keahlian yang cukup dan individualism. Program tersebut dibuat untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik lewat swasembada pangan.
Secara teoritis, moral ekonomi para petani tidak dapat diterapkan dalam kasus
ini. Sebelumnya para petani Indonesia hidup dalam lingkungan komunal yang jauh
dari nilai-nilai kapitalisme, penduduk biasanya hidup bergotong royong yang
mencerminkan nilai-nilai tradisional hidup mereka. Revolusi Hijau memiliki
kemampuan untuk merubah tatanan tradisional menjadi institusi pasar modern yang
hanya menguntungkan para pemimpin pedesaan dan elite local. Karena itu sangat
mudah diamati implikasi negatif dari revolusi hijau adalah dikenalnya
mentalitas individualism sebagai suatu tanda transisi kearah kapitalisme
pertanian.
Perubahan struktur
sosial di pedesaan merupakan kenyataan dari ekses Revolusi Hijau. Perubahan itu
berdampak pula pada perubahan politik. Hal ini senada dengan teori system (Sztompka,
2008:3-4) yang membedakan perubahan sosial dalam beberapa jenis tergantung pada
sudut pengamatan: apakah dari sudut fragmen atau dimensi system sosial. Ini
disebabkan keadaan system sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal,
tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai komponen.
Perubahan politik yang
dicatat oleh Fahmid (2004:152) ada 4
kategori: peningkatan konflik regional, perubahan bentuk perjuangan kelas
bawah, membesarnya gelombang kaum proletarian dan percepatan perubahan.
Peningkatan konflik terhadap pemerintah pusat bias muncul sewaktu-waktu jika
pasokan pertanian menurun. Contoh kasus kelangkaan bawang yang menyebabkan
kenaikan harga bawang secara langsung menyulut benih-benih kebencian terhadap
pemerintah pusat. Di satu sisi Revolusi hijau ini adalah bentuk lain
eksploitasi oleh kapitalis karena membentuk ketergantungan.
Ketergantungan itu
dimulai dari bibit yang tidak bisa digunakan berulang kali sehingga untuk
mendapatkan bibit unggul harus membeli. Alat-alat pertanian seperti traktor
juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan tetapi disisi yang lain
tidak serta merta dapat membuat produksi pertanian meningkat. Pupuk kimia,
pertisida dan lain sebagainya menjadikan petani tidak dapat lepas dari produk
industri Kapital.
Penutup
Penerapan
Revolusi Hijau membawa perubahan sosial masyarakat pedesaan yang perlu
dipelajari lebih lanjut agar dapat membawa dampak yang signifikan dalam
ketersediaan bahan pangan. Bagaimanapun pangan menjadi sector penting dalam
kelangsungan suatu bangsa, sector ini bias menjadi pemicu masalah-masalah
sosial yang lebih kompleks dari politik hingga pertahanan. Untuk itu penelitian
lanjutan mengenai perubahan sosial pedesaan terkait pertanian perlu dilakukan
dengan penuh seksama. Hal ini menjadi begitu mendesak karena dewasa ini pangan
dan pedesaan mengalami tren penurunan sehingga langkah-langkah kongkret
pemerintah diperlukan dalam pembangunan sektor ini.
Rujukan
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Fahmid, Imam Mujahidin. 2004. Gagalnya Politik Pangan di Bawah Rezim Orde Baru : Kajian Ekonomi
Politik Pangan di Indonesia. Jakarta: Sandi Kota dan ISPEI.
Wikipedia.
Revolusi-Hijau. Diakses pada 4 April 2013.