Monday, January 6, 2014

VIVERE PERICOLOSO

VIVERE PERICOLOSO

AMALKAN PESANKU !!
Djelaslah  sekarang pesanku itu ialah : MENGALIRLAH HAI SUNGAI REVOLUSI INDONESIA. Mengalirlah dengan kekuatannja romantikmu dan ketangkasannja dinamikmu kearah djurusan jang didjelmakan oleh dialektik Revolusi. Mengalirlah djangan mandek. Sebab dengan mengalir kearah djurusan jang didjelmakan oleh dialektik-mu itu maka engkau setia kepada amanat, jang penderitaan rakjat telah diberikan kepadamu!
Bagi Saja sendiri. - TIAP-TIAP KALI SESUDAH SAJA PADA 17 AGUSTUS MENBATJAKAN AMANAT KEPADA RAKJAT, SESUDAH SAJA MASUK KEMBALI KE ISTANA MERDEKA, SAJA SELALU DUDUK TERMENUNG BEBERAPA MENIT -. PERTAMA UNTUK MENJATAKAN SJUKURKU KEPADA TUHAN, KEDUA UNTUK MENIKMATI KEKAGUMANKU ATAS BANGSAKU INDONESIA, ENGKAU BANGSAKU INDONESIA, JANG SEDANG BERREVOLUSI DALAM TUBUH BANGSA SENDIRI, DAN ENGKAU PULA, JANG SEDANG BERREVOLUSI UNTUK MERUBAH KEADAAN SELURUH UMMAT MANUSIA! ALLAHU AKBAR. - Alangkah uletmu, alangkah tinggi daja-tahanmu! Alangkah tetap-tegas derap-langkahmu! Dengan rakjat seperti engkau ini aku bisa dengungkan keseluruh muka bumi pekik-perdjoangan kita jang berbunji “KEMERDEKAAN – SOSIALISME – DUNIA BARU”. Dan aku bisa gledekkan dalam telinganja semua imperialis di muka bumi : “INI DADAKU, MANA DADAMU!”. Dan aku bisa ulangi apa jang pernah kukatakan diluar negeri “THE INDONESIAN PEOPLE CAN TAKE EVERYTHING FOR THE SAKE OF REVOLUTION”. Revolusi Indonesia bisa mengganjang segala apa sadja jang ditimpakan kepadanja!
Saudara-Saudara sering memberikan gelar keagungan kepadaku - GELAR INI GELAR ITU -, bahkan mengangkat aku sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Sebaliknja, aku mengutjap sjukur kepada Tuhan, bahwa aku ditundjuk untuk memimpin perdjoangannja Bangsa Indonesia ini, - SUATU BANGSA JANG DJIWANJA DJIWA BESAR, SUATU BANGSA JANG ULET LAKSANA BADJA, SUATU BANGSA JANG MEMPUNJAI DAJA-TAHAN (INCASSERINGSVERMOGEN) JANG LUAR BIASA, SUATU BANGSA JANG DAPAT BERSIKAP RAMAH-TAMAH-LEMAH-LEMBUT, TETAPI DJUGA KALAU DISAKITI ATAU DISERANG DAPAT “MENGAMUK” LAKSANA BANTENG! TIAP-TIAP 17 AGUSTUS KEKAGUMANKU KEPADAMU SELALU MAKIN BERTAMBAH, TIAP-TIAP 17 AGUSTUS AKU MERASA MELIHAT BAHWA REVOLUSI INDONESIA MEMANG SATU REVOLUSI MAHA BESAR JANG MENGEDJAR SATU IDEE - Idee besar, ja’ni melaksanakan amanat penderitaan Rakjat Indonesia, dan amanat penderitaan Rakjat diseluruh muka bumi. Dan tiap-tiap 17 Agustus aku makin teguh kejakinanku : REVOLUSI INDONESIA ADALAH REVOLUSI TANPA-MATI. Revolusi Indonesia pasti akan menang.
Dengan Rakjat seperti Rakjat Indonesia ini, aku berani meningkatkan Revolusi Indonesia itu mendjadi satu Revolusi jang benar-benar multicomplex. Aku berani memimpinnja. Aku berani mensenapatiinja. Karena aku merasa mampu untuk dengan ridho Tuhan meningkatkan segala tenaganja. Meningkatkan segala fikirannja. Menggegap-gempitakan segala romantik dan dinamiknja. Mendentam-dentamkan segala hantaman-hantamannja. Menggelegarkan segala pembantingan tulangnja. Mengangkasakan segala daja kreasinja. Menempa-menggembleng segala otot-kawat-balung-wesinja!
Sungguh :
Kamu bukanlah Bangsa tjatjing, kamu adalah Bangsa berkepribadian Banteng! Hajo, madju terus! Djebol terus! Tanam terus! Vivere pericoloso! Ever onward, never retreat! Kita pasti menang!
Soekarno*
*kutipan teks pidato ini dikutip dari buku penerbitan resmi Deppen Penerbitan ke I melalui “Harian Rakjat” Djakarta jang kemudian diperbaiki lagi menurut Penerbitan ke II Deppen – jang membuat penjebarannja terpaksa agak terlambat

Sunday, January 5, 2014

LINTASAN SEJARAH GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA


LINTASAN SEJARAH GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA

PENDAHULUAN
Bukan suatu hal yang kebetulan bila dasawarsa terakhir ini kehidupan mahasiswa menjadi “sepi”. Banyak argumentasi bisa dikedepankan untuk mengomentari keadaan. Berbagai pendapat bisa hadir tanpa sinisme. Namun semuanya yang mencuat, masih tetap belum dapat menepis keprihatinan masyarakat. Boleh jadi timbul pemikiran : sepi atau hingar bingar, hanyalah masalah ukuran yang berbeda. Semua orang mempunyai hak untuk berpendapat. Tapi satu hal jangan dilupakan, bahwa semua mahasiswa Indonesia mempunyai beban sejarah yang tidak ringan. Manakala persoalan ini dikembalikan pada mahasiswa, mungkin ada kearifan tersembunyi yang bisa muncul. Sungguh tidak seperti yang kita bayangkan. Mahasiswa dan dunianya cukup tajam bersimpangan jalan dengan harapan. Hal ini tergambar pada “kebingungan” yang dimiliki mahasiswa. Quo Vadis mahasiswa???. Satu pertanyaan klise ini menyimpan jawaban yang tak pernah selesai. Manusia memang sok tahu!. Tapi mahasiswa yang penuh bangga diri ini akan beku tanpa ekspresi ketika berhadapan dengan pertanyaan tersebut. Kalau toh ada jawaban, maka yang terucapkan tidak pernah tampak bening. Bahkan tak jarang malah menjadi kusut, kekusutan tersebut tidak perlu di-setrika terlampau keras, sebab kata akhirnya akan berpulang pada kebingungan mahasiswa itu sendiri. Inikah keterasingan???, barangkali!.
Kelompok studi mahasiswa yang tumbuh menjamur, memandang mahasiswa yang hanya mengejar prestasi akademis dan berhura-hura adalah manusia setengah setan. Sementara mahasiswa aktivis LSM melihat sinis kelompok studi mahasiswa, hanya sebagai kumpulan manusia yang suka bercuap-cuap teoritis. Kemudian yang lain demikian juga. Daftar sinisme ini bisa diperpanjang lagi dengan segala ragam aktivitas kemahasiswaan beserta pengelompokannya. Aktivitas SEMA/BPM, Pramuka, Menwa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Organisasi Ekstra Mahasiswa, Keluarga Mahasiswa asal daerah dsb. Menghadapi kebingungan itu adalah tidak salah bila seorang memilih harus aktip di organisasi ekstra mahasiswa, daripada melarikan diri menjadi apatis. Memilih aktip di organisasi ekstra mahasiswa, khususnya kelompok Cipayung (HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII), adalah pilihan bijaksana seorang mahasiswa yang memahami kediriannya. Mengatakan demikian alasannya tidak mungkin cukup dipahami, kecuali aktip sendiri bergumul dengan organisasi ekstra mahasiswa yang dipilihnya. Mengapa demikian?. Itulah kearifan yang tersimpan dalam organisasi ekstra mahasiswa!!!.
Salah satu organisasi ekstra mahasiswa yang tidak jarang disalah artikan adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Apa dan bagaimana GMNI itu?, merupakan pertanyaan dasar yang sering dibingungkan jawabannya dengan publik opini yang kurang sehat. Ada yang mengatakan GMNI adalah PDI. Bahkan ada yang gegabah (untuk tidak mengatakan jahat) mengatakan seenak perutnya bahwa GMNI adalah PKI. Atas ketidakjelasan itulah, kita akan lebih arif sebagai manusia, bila lebih dulu sudi menelusuri GMNI sebagai organisasi perjuangan. Tentu saja penelusuran itu dimaksudkan, agar kita mengetahui dan tidak ikut membuat dosa dalam menyalah artikan apa dan bagaimana GMNI!. GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat Independent dan berwatak kerakyatan, hadir ber-kiprah didalam masyarakat sebagai anak jaman yang menyatu dengan gelora revolusi perjuangan Bangsa. Maka itu menelusuri perjalanan GMNI, mengharuskan kita dengan sabar memungut fakta-fakta sejarah yang tercecer, untuk kemudian dirangkai dalam satu vas permasalahan yang menampilkan kemudahan dalam pengamatan. Apakah dengan demikian kita akan menyelenggarakan rekonstruksi sejarah secara utuh?, tentu saja tidak!. Sebab berpretensi mencari kejelasan dalam rekonstruksi sejarah secara utuh, sama halnya ingin mengecat langit. Pernyataan diatas menyimpan asumsi yang tidak terucapkan, bahwa sejarah adalah suatu kompleksitas peristiwa yang terurai dalam ruang dan waktu secara kausalitas – dialektis. Jadi sejarah bukanlah hanya deretan tanggal-tanggal peristiwa, melainkan berbagai peristiwa yang bergayutan dan terangkai sebagai sebuah produk dari situasi dan kondisi tertentu. Maka itu melintasi sejarah sesuatu, berarti menelusurinya dalam gerak, sebab setiap sejarah adalah dinamis. Demikian pula dalam kita menelusuri sejarah GMNI, tidaklah mungkin kalau hanya berkubang dalam kemandekannya.
-
GMNI SEBAGAI ANAK JAMAN
Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan kapitalisme-imperialisme, belum pernah mencapai garis akhir. Memang Proklamasi Kemerdekaan sudah diikrarkan sebagai tonggak sejarah berdirinya Negara Indonesia. Akan tetapi dengan Proklamasi itu, bukan berarti perjuangan lantas selesai. Walaupun Proklamasi sudah mengaung, tapi perjalanan Bangsa kita masih panjang. Sungguh tak pernah akan kita sesalkan, bahwa untuk menuju masyarakat demokrasi-egalitarian tampaknya memang merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang harus kita hadapi. Dari menyimak sejarah kita mengetahui bagaimana kolonialis Belanda tetap gigih ingin mencengkeram tanah air kita. Dalam sejarah pula, bagaimana persatuan dan kesatuan Bangsa kita harus dirobek-robek. Sekitar Proklamasi, kesadaran Indonesia sebagai suatu Bangsa belumlah menjadi darah-daging manusia Indonesia, bahkan mungkin sampai sekarang. Sesungguhpun pada setiap kesempatan tokoh-tokoh pejuang pemikir kita, tidak pernah lelah menanamkan arti pentingnya persatuan dan kesatuan Bangsa. Tercatat dalam sejarah hitam Bangsa kita, bagaimana gerakan-gerakan separatis timbul sebagai setan-setan penuh nafsu kekuasaan. Dengan mengabdi pada kepentingan negara-negara imperialis, gerakan separatis yang mementingkan golongannya sendiri itu, buka tidak sedikit menyumbangkan pada kemunduran perjuangan Bangsa. Tahun 1948 PKI menikam dari belakang ketika kekuatan Bangsa kita semakin terjepit. Tak ketinggalan dikalangan tentara saling berebut posisi. Dari kalangan Islam bertekat baja ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Dikalangan komunis ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Mereka yang menamakan sosialis-demokrat (baca: PSI) ingin menjadikan Indonesia sebagai negara liberal. Tan Malaka si Agen Komintern untuk Asia Timur Jauh mengejar ajal dalam gerilya, demi cita-cita komunis nasionalnya. Begitulah Bangsa kita mengisi kemerdekaan, compang-camping berebut kekuasaan atas nama rakyat.
Ditengah hingar-bingar sistem politik yang bersifat kapitalisme (baca : demokrasi parlementer) sebagai hasil kerja manusia Indonesia yang sudah dibaratkan, tumbuh menjamur partai-partai politik di Indonesia. Sementara rakyat Indonesia masih tetap setia dengan kemiskinannya, tanah air tercinta masih di-eksploitir oleh kekuatan-kekuatan imperialis, partai-partai politik yang begitu banyak, mengatasnamakan rakyat saling bertarung memperebutkan kekuasaan. Tidak ketinggalan pula kalangan tentara mencari peluang untuk mendesakkan berbagai kepentingannya. Dalam suasana semacam itu, organisasi mahasiswa dengan ideologi dan kepentingan masing-masing tumbuh mekar menyemarakkan suasana. Entah kapan mulai berdirinya, tercatat dalam sejarah ada organisasi mahasiswa yang bernama Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, ada yang bernama Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan ada pula yang bernama Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia ada di Jakarta, Gerakan Mahasiswa Merdeka ada di Yogyakarta, dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis ada di Surabaya. Secara kebetulan ketiga organisasi tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Sadar akan  keadaan masyarakat dan Bangsa Indonesia yang memprihatinkan, maka organisasi-organisasi mahasiswa yang mulai mekar itu, terus bergerak melanjutkan tugas sejarah memerdekakan rakyat Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya. Atas kesadaran sebagai anak jamannya yang harus menunaikan tugas sejarah, ketiga organisasi yang memiliki tujuan yang sama tersebut, bertekat untuk mengadakan fusi. Dengan diprakarsai oleh pimpinan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, sekitar bulan September tahun 1953, diundang berkumpul di Jakarta para pemimpin organisasi Gerakan Mahasiswa Merdeka dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Dalam pertemuan yang bersejarah itu mereka bersepakat untuk mengadakan fusi menjadi satu organisasi perjuangan.
Sebagai hasil pertemuan di bulan September tahun 1953, maka di Surabaya pada tanggal 23 s/d 26 Maret 1954 diadakan Kongres ke-I. Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa organisasi yang telah difusikan tersebut diberi nama dengan “Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”. Untuk kemudian tanggal 23 Maret sebagai hari permulaan kongres untuk menggunakan Marhaenisme sebagai azas organisasi, ternyata yang lain bersepakat ada tiga cabang yang di pengaruhi cabang  Yogyakarta menolak azas tersebut. Forum menjadi panas dan untuk kemudian di skorsing. Dalam istirahat timbul pikiran, kenapa persoalan azas ini menjadi tegang kembali, padahal Bung Karno sudah menjelaskan dulu ketika pertemuan untuk fusi pada bulan September tahun 1953. Dengan penyelidikan yang cukup cermat dan lihai, ternyata dapat terungkap bahwa cabang Yogyakarta yang diwakili Jarmanto dan Slamet rupanya punya maksud tersendiri. Konon Slamet ini adalah Wartawan Harian Pedoman yang diselundupkan oleh  Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam tubuh GMNI untuk membelokkan arah tujuan. Hal tersebut dimungkin, karena partai politik pada waktu itu diharuskan memiliki anak partai yang berada disemua lapisan masyarakat, disamping juga persiapan langkah dalam mneyongsong pemilihan umum yang pertama tahun 1955. Secara ideologis, tentu saja bersikeras untuk menolak Marhaenisme sebagai azas organisasi, agar nantinya GMNI dapat diwarnai oleh ideologi PSI yang berazas Marxis-Engels. Jadi tampak sekali bahwa GMNI semenjak lahirnya sudah kesusupan orang yang mempunyai lain tujuan. Sementara cabang Yogyakarta memungkinkan untuk disusupi karena kecenderungan cabang disana yang relatif kurang comited terhadap ideologi, kecuali selalu dengan teori-teori steril dan nama-nama populer seorang cendikiawan. Namun demikian dengan penuh semangat kebersamaan, kongres mencapai kata putus bahwa azas GMNI adalah MARHAENISME.
Dalam kongres itupula dibahas bagaimana hubungan organisasi GMNI dengan PNI. Apakah GMNI akan menjadi onderbow PNI ataukah secara organisatoris lepas dengan PNI?. Masalah ini cukup penting untuk dibahas justru karena kondisi politik masa itu, sebagai konsekuensi liberalisme politik di Indonesia. Demokrasi parlementer menciptakan situasi yang cukup kondusif bagi pelebaran sayap dan intervensi partai kesemua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kehidupan mahasiswa. Disamping karena ada kesamaan azas antara PNI dan GMNI, secara politis terselenggaranya fusi dan Kongres ke-I GMNI sedikit banyak ada kerjasamanya dengan oknum-oknum PNI. Oleh karenanya cukup wajar bila kongres tersebut menyinggung bagaimana hubungan organisatoris PNI dan GMNI. Atas kesadaran yang tinggi dan kejernihan berpikir para peserta kongres akhirnya diputuskan dalam rapat pleno bahwa GMNI Independent. Tentu saja keputusan ini mengundang reaksi pihak PNI yang banyak berkepentingan terhadap keputusan kongres GMNI, yang menyatakan secara eksplisit keterkaitan langsung secara organisatoris terhadap PNI. Oleh karena keputusan menjadi lain sebagaimana yang diharapkan, konon bantuan dana dari DPP PNI untuk biaya kongres tidak jadi dicairkan, kecuali biaya yang sudah dikeluarkan untuk operasional kegiatan teknis.
-
SIFAT DAN WATAK GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Setiap organisasi memiliki ciri chas dan wataknya sendiri, demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan. Sifat dan watak GMNI sebagai organisasi perjuangan tercermin pada nama dan azas organisasinya, yakni Nasionalistik dan berwatak kerakyatan.
GMNI sebagai organisasi perjuangan mewajibkan para angota-anggotanya untuk senantiasa dinamis dalam berfikir dan bertindak. Dinamisme sebagai prinsip perjuangan bukanlah sekedar kata kosong yang tidak punya makna. Akan tetapi pengertian tersebut sebagai ruang hidupnya organisasi, secara hakiki mempunyai sifat yang tetap yaitu bergerak. Semua masyarakat di dunia ini bergerak, berubah dan berkembang. Penyatuan dengan sifat masyarakat itulah maka GMNI menggunakan nama Gerakan Konsisten dengan nama itulah maka sudah merupakan keharusan bagi anggota GMNI untuk senantiasa bergerak, baik pikiran maupun tindakan. Maka itu, terpukau pada kejayaan masa lalu dan tenggelam pada kekinian pada dasarnya merupakan sikap yang tidak benar bagi anggota GMNI, sebab sikap semacam itu merupakan sikap yang tidak dinamis atau mandeg.
Manusia adalah mahluk sosial atau zoon politicon kata Aristoteles. Sebagai mahluk sosial manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup mengelompok dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam kecenderungannya itu, manusia membentuk organisasi sebagai wadah berkelompok dan berkerja-sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Oleh karena itulah banyak ragam organisasi dimasyarakat, sebanyak kepentingan manusia. Mulai dari pelacur samapi direktur hampir memiliki organisasi. Ketika manusia mencapai kesadaran agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri, maka muncullah organisasi-organisasi perjuangan untuk menunaikan tugas sejarah dan tugas kemanusiaan. Artinya organisasi itu berdiri bukan dimaksudkan untuk hanya mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan anggota-anggotanya, melainkan untuk menunaikan perintah Illahi. Sehingga diwajibkan bagi anggota organisasi tersebut, motivasinya untuk bergabung sebagai saudara perjuangan haruslah didasari karena panggilan suci, bukan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Demikian juga GMNI sebagai organisasi perjuangan, mengingat dikalangan mahasiswa masih ada juga yang sadar akan panggilan suci itu, maka GMNI memberanikan diri untuk mengorganisirnya dalam satu wadah perjuangan. Maka itu pengertian mahasiswa dalam nama GMNI maupun sebagai syarat keanggotaannya adalah tidak sekedar kategori mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan sadar akan tugas sejarah dan kemanusiaanya, sebagaimana diperintahkan Ilahi.
Kata nasional dalam GMNI menunjuk sifat hakiki dalam organisasi. Pengertian nasional kecuali sebagai ruang lingkup kegiatan, secara idiologis ia menunjukkan faham yang menjadi identitas GMNI. GMNI sebagai organisasi perjuangan sejak semula menyadari heterogenitas masyarakat Indonesia. Sungguhpun faham kebangsaan sudah disosialisasikan semenjak jaman kebangkitan nasional dulu, sampai kini masih tampak dalam masyarakat kita ikatan-ikatan primordial yang terus melembaga. Kenyataan ini tidak terkecuali pada kehidupan mahasiswa yang semestinya sudah bisa berfikir. Ikatan ke-daerahan, ke-sukuan, ke-Agamaan, status sosial dan sebagainya itu, pada dasarnya menyimpan bahaya bagi persatuan dan kesatuan Nasional. Maka itu GMNI tetap mempunyai tekad untuk melawannya secara kritis. Sebagai pengejawantahan dari pandangan ini GMNI tidak membatasi diri pada keanggotaannya atas dasar ikatan primordial tersebut!. Siapapun mahasiswa Indonesia diperkenankan masuk GMNI. Apapun Agamanya, kesukuannya dan dari mana asal daerahnya, asal mereka itu mahasiswa Indonesia yang terpanggil untuk berjuang menunaikan tugas sejarah akan diberi peluang untuk menjadi anggota GMNI. Oleh karena itu adalah sikap penyelewengan idiologis bila anggota GMNI masih memandang masalah itu dari kacamata primordialisme, sedangkan kata Indonesia dalam GMNI adalah penegasan dari kata Nasional yang bermakna kultural-politis.
Sebagaimana telah diputuskan dalam Kongresnya yang pertama, GMNI adalah organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme, suatu karya fikir yang sangat cemerlang dari Bung Karno dalam rangka menyatukan Bangsa Indonesia dan sekaligus sistem nilai yang menjadi pedoman aksi dalam melawan Kolonialisme dan Kapitalisme. Penggunaan Marhaenisme sebagai azas GMNI tidaklah karena faham tersebut merupakan karya Bung Karno sebagai orang besar, melainkan karena GMNI memahami kaitan kondisi obyektip masyarakat Indonesia dengan substansi dari Marhaenisme itu sendiri. Marhaenisme sebagai azas perjuangan substansinya  terdiri dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Sosio-Nasionalisme merupakan pandangan kebangsaan yang berprikemanusiaan dan Sosio-Demokrasi adalah faham  yang menghendaki tidak hanya demokrasi dalam arti politik, akan tetapi juga Demokrasi dalam dimensi ekonomi, atau yang disebut dengan Demokrasi Sosial. Komitmen ideologi yang demikian itulah mengharuskan GMNI senantiasa berorientasi pada rakyat, dan bersama-sama rakyat mengadakan perbaikan-perbaikan secara kritis dan dinamis. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari pemahaman substansial komitmen perjuangan yang diabstraksikan dari akar kehidupan dan aspirasi rakyat yang tertindas.
Idealisme yang mewarnai GMNI sebagai organisasi perjuangan bukanlah mitos yang turun dari langit begitu saja, akan tetapi merupakan kristalisasi pemikiran dan tindakan yang berkesadaran penuh sebagai manusia yang meng-ada bersama dunia. Oleh karena itulah wawasan kebangsaan yang utuh dan keprihatinan serta keterlibatan terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat secara kongkret merupakan identitas penting anggota GMNI. Dengan kata lain pengertian diatas mengandung makna sifat dan watak yang Nasionalistik dan Berkerakyatan.
-
GMNI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN
Sejak berdirinya GMNI sebagai organisasi tidaklah semata-mata merupakan wadah untuk berkelompok, bagi orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Berdirinya GMNI sebagai organisasi tidak terlepas dari idealisme yang mendasarinya. Idealisme GMNI berada didalam keprihatinan anak jaman terhadap masyarakatnya dan sistem nilai yang terangkum didalam azas perjuangannya. Idealisme GMNI berorientasi kerakyatan dan bertujuan mencapai masyrakat tanpa penghisapan manusia atas manusia. Idealisme tersebut menjadikan GMNI sebagai organisasi bukanlah sekedar interest group, melainkan GMNI adalah organisasi perjuangan. Maksudnya bahwa GMNI sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independent dan berwatak kerakyatan, tidak semata-mata sebagai wadah untuk mengartikulasikan kepentingan anggota-anggotanya, bukan sekedar sebagai saluran politik untuk mobilitas vertikal masuk supra struktur politik, melainkan wadah bagi mahasiswa-mahasiswa yang memiliki idealisme dan sadar akan tugas kemanusiaannya. Oleh karenanya bagi seseorang memiliki minat untuk memasuki GMNI, sejak dini harus menyadari bahwa aktip di GMNI merupakan pilihan untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi. Dalam mendinamisasikan tenaga-tenaga pembangun bagi perwujudan cita-cita proklamasi, diperlukan adanya organisasi yang siap dan tanggap dalam menyiasati keadaan. Fungsi yang demikian itu mengasumsikan adanya komitmen perjuangan yang berorientasi kerakyatan. Oleh karena sejak semula GMNI menyadari akan kediriannya dan keadaan masyarakatnya, maka secara fungsional GMNI menyediakan diri sebagai alat. Jadi secara fungsional GMNI sebagai organisasi merupakan alat yang dipergunakan untuk melahirkan kader-kader Bangsa dan juga sebagai wahana untuk mendinamisasikan kader-kader Bangsa dalam menunaikan tugas sejarah dan kemanusiaannya untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Dalam kehidupan kongkret manusia lahir tidak dilengkapi dengan instrumen yang siap pakai kecuali potensi manusiawinya, karena hakekat manusia memang mahluk belum selesai. Keadaan yang demikian mengharuskan manusia untuk bekejasama dengan yang lainnya. Kerjasama manusia menjadi terwujud disebabkan karena adanya hubungan saling memberi. Salah satu bentuk hubungan saling memberi adalah manusia saling mendidik. Sehingga manusia mampu mencapai tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman dan keterampilan yang melampaui keadaan semula sebagai pengejawantahan aktualisasi potensi manusiawinya. Proses ini menjadi penting karena manusia semakin meningkat harkat kemanusiaannya. Proses tersebut dimungkinkan karena adanya situasi yang kondusif, sehingga potensi manusiawinya mendapat ruang gerak yang cukup untuk diaktualisasikan, untuk kemudian manusia menjadi eksis. Demikian juga GMNI sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Kader bukanlah manusia bentukan yang dipola dengan desain tertentu, melainkan kader adalah manusia yang “menjadi” karena mampu mengaktualisasikan potensi dirinya. GMNI sebagai alat pendidikan kader mempunyai tugas menciptakan situasi kondusif agar anggota-anggotanya dapat memasuki proses menjadi dalam rangka eksistensi dirinya sebagai bingkai perjuangan Bangsa. Melalui proses menjadi inilah seluruh anggota GMNI diharuskan memantapkan pendefenisian dirinya sebagai kader. Oleh karena keanggotaan GMNI terbatasi oleh waktu sesuai dengan status kemahasiswaannya, maka tidak mungkin seseorang untuk terus menjadi anggota aktip. Kenyataan tersebut menjadi dasar juga kenapa GMNI menyediakan diri sebagai alat pendidikan kader Bangsa. Bagi mereka yang cukup berhasil mendefenisikan dirinya sebagai kader tidak mungkin memonopoli hanya harus mengabdi pada GMNI. Untuk itulah kader-kader GMNI diberi kebebasan memilih setelah lepas menjadi anggota aktif. Maka itu GMNI tidak terikat pada partai politik apapun. Anggota-anggota GMNI sebagai kader hanya terikat pada kepentingan rakyat dan Bangsa Indonesia. Dalam makna itulah GMNI menyediakan diri sebagai alat pendidikan kader Bangsa.
Sebagai alat pendidikan kader Bangsa GMNI bertugas mendidik anggota-anggotanya dalam konteks kejuangan agar senantiasa comited pada kepentingan rakyat dan Bangsa. Melalui pendidikan tersebut diharapkan lahir pemuda-pemuda yang berkepribadian kokoh, tanggap pada situasi dan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian anggota-anggota GMNI sebagai kader Bangsa dapat memberikan sumbangsihnya pada pembangunan Bangsa. Oleh karenanya kader GMNI bukanlah milik dari segolongan masyarakat saja. Kader GMNI merupakan bagian integral dari potensi Bangsa yang terus berjuang melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Maka tidak benar jika ada ungkapan bahwa kader GMNI adalah kader PDI. Bagi GMNI pernyataan tersebut penting diungkapkan, karena ada kecenderungan dalam masyarakat memandang GMNI sebagai anak dari PDI.
Berdampingan dengan GMNI sebagai alat pendidikan kader Bangsa, GMNI sebagai organisasi adalah alat untuk mencapai cita-cita proklamasi, yakni masyarakat Sosialis-Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebagai alat untuk mencapai cita-cita Proklamasi, GMNI diharuskan ber-kiprah di tengah masyarakat  dengan tanpa pamrih. Tugas demikian tidak mungkin terselenggara apabila GMNI tidak memiliki idealisme yang kuat dan tekat untuk merealisasikan idealisme tersebut. Ber-kiprah di tengah masyarakat untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dan melawan ketidak-adilan, bukanlah kerja manusia tanpa ideologi, maka itu dengan ideologi yang diyakininya GMNI mendinamisir anggota-anggotanya didalam struktur organisasi dan Anggaran Rumah Tangganya. Pengaturan tersebut merupakan upaya mensistematiskan kegiatan kolektif dari potensi perjuangan agar lebih terarah dan kokoh sebagai suatu kekuatan pemabaharu.
Memang tanpa organisasi seseorang dapat mengabdikan dirinya pada cita-cita proklamasi, akan tetapi sudah menjadi keyakinan dan hakekat manusia apabila kekuatan yang berpencar itu dijadikan satu entitas perjuangan, maka sejarah sudah membuktikan aktivitas kolektif lebih memiliki daya jangkau yang lebih jauh. Oleh karena GMNI sebagai organisasi perjuangan senantiasa berupaya mensistematisir arah gerak anggota-anggotanya selaras dengan keperluan Bangsa. Sesuai dengan tingkat perjuangan dan perkembangan masyarakat.
Menegakkan GMNI sebagai organisasi perjuangan, secara organisatoris dilakukan dengan membangun slagorde organisasi, disamping dengan membina hubungan dengan kekuatan lain. Upaya tersebut dilaksanakan dengan mensosialisasikan GMNI di tengah masyarakat, merekrut anggota, mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah yang strategis dan potensial. Setelah dua tahun GMNI menghirup udara perjuangan Bangsa, kemudian pada tahun 1956 di Bandung mengadakan Kongresnya yang ke-II, dalam Kongres tersebut banyak dibicarakan masalah konsolidasi organisasi.
Pelaksanaan konsolidasi organisasi dalam tingkatannya yang kemudian, menjadikan GMNI sebagai bayi yang baru lahir secara kuwantitatif membengkak, baik jumlah anggota maupun jumlah cabang yang terbentuk. Pada tahun 1959 di kota Malang sekitar 100 cabang GMNI berkumpul mengadakan Kongres yang ke-III. Semenjak itu dikarenakan kehidupan mahasiswa dan kehidupan pergerakan, GMNI tidak bisa diabaikan. Kemudian pada tahun yang sama di Kaliurang-Yogyakarta GMNI mengadakan konperensi besar. Dalam konperensi tersebut hadir Bung Karno sebagai Presiden R.I. berkenan memberikan pengarahan pada anggota-anggota GMNI. Dalam pengarahannya itu Bung Karno sebagai pencetus Pancasila banyak menyinggung masalah-masalah dasar dari azas perjuangan. Disisi lain konperensi besar telah menetapkan keputusan penting, antara lain :
  1. Ditetapkannya perubahan lembaga kepemimpinan nasional dari DPP menjadi Presidium,
  2. Ditetapkannya bahwa GMNI secara organisasi menjadi onderbow dari PNI.
-
GMNI DIUJI JAMAN
Memasuki dasawarsa 60-an GMNI sebagai organisasi sudah menyebar keseluruh Indonesia, dengan waktu yang relatif singkat, tidak lebih lima tahun dari awal terbentuknya GMNI sebagai organisasi perjuangan sudah tidak bisa dipandang sepi kehadirannya.
Kehidupan kampus yang kemudian banyak dikuasai dan diwarnai oleh mekarnya GMNI banyak mengundang kecemburuan. Semenjak itu lembaga-lembaga juga di organisasi-organisasi ekstra kampus, pewarnaan GMNI dalam kehidupan kemahasiswaan membuat pamornya menjadi naik. Keadaan tersebut memberikan peluang pada GMNI untuk menggarap basis semakin luas. Disetiap fakultas berdiri komisariat-komisariat yang memiliki cukup banyak anggota yang riil. Animo mahasiswa untuk memasuki GMNI menjadi cukup besar, bukan hanya karena popularitas GMNI melainkan juga karena kemudahan-kemudahan yang dapat diperoleh dengan mengatasnamakan GMNI. Hal ini dimungkinkan karena semenjak GMNI menjadi onderbow PNI dan hubungan GMNI dengan Bung Karno yang tidak begitu jauh, telah memberikan peluang bagi pemanfaatan keadaan. PNI sebagai organisasi besar dan memiliki banyak kekuasaan, tidak sedikit memberikan pengaruh terhadap keadaan itu. Namun semenjak itu pula GMNI telah menjadi anak manja yang kurang mawas diri. Sehingga GMNI pada masa itu merupakan jaminan bagi masa depan, tetapi bukan jaminan bagi terbentuknya insan pejuang yang berkarakter kerakyatan serta konsisten pada idealismenya.
Tahun 1962 di Yogyakarta GMNI mengadakan Kongres yang ke-IV. Memasuki dasawarsa 60-an GMNI memang ditandai dengan kejayaannya, tapi masa itu juga GMNI sebagai organisasi besar hanya sedikit memiliki kader-kader pejuangnya. Hal tersebut dikarenakan banyak mahasiswa memasuki GMNI bermotivasi prakmatis. Sementara organisasi yang berazaskan kerakyatan itu terlampau sibuk dengan pengaturan-pengaturan kursi, sehingga tidak banyak kesempatan untuk menggembleng dan menyaring anggota-anggotanya sebagai kader yang berkepribadian. Akibatnya organisasi mahasiswa yang tampak besar dari bajunya itu, hanya sedikit memiliki kekuatan. Hal ini terbukti nanti ketika GMNI sedang menghadapi tekanan-tekanan politik, kecuali beberapa kader yang memang konsisten pada perjuangannya, hampir sebagian besar melarikan diri tanpa menyebut dirinya lagi sebagai GMNI.
Hubungan GMNI dan PNI yang begitu dekat secara organisatoris dan politis, dan juga keterkaitannya dengan Bung Karno sudah menjadi hubungan kesejarahan. Masing-masing memiliki ideologi yang sama untuk diterapkan di Indonesia. Secara ideologis bila dibanding dengan PNI, sebenarnya GMNI memiliki sedikit kelebihan terutama karena basis anggotanya, dengan basis intelektual yang cukup kuat disamping semangat pemuda yang siap tempur. Keadaan yang demikian menjadikan GMNI satu incaran utama dalam perhitungan politik dari lawan-lawan politik Bung Karno dan PNI. Konon yang banyak diperhitungkan oleh Aidit. CS dalam prospek percaturan politik Nasional adalah kader-kader GMNI yang masih muda ketimbang pimpinan PNI sendiri. Bukan tidak mungkin dalam suksesi kepemimpinan, Bung Karno tidak melirik kader-kader GMNI. Ketika PNI sudah menjadi konservatif dalam percaturan ideologis sebenarnya GMNI merupakan rival utama bagi PKI. Justru karena ideologi keduanya masing-masing berorientasikan kerakyatan, tapi berbeda dalam filsafat dan metode kerjanya, jadi dapat dikatakan bahwa GMNI versus PKI merupakan rivalitas tanpa achir, sebab dimana ada GMNI kemudian muncul PKI, keduanya akan bertarung sengit secara ideologis. Dengan gambaran tersebut, masikah kita percaya pada pendapat orang bahwa GMNI berbahu PKI?!. Saya kira hanya ketololan manusia yang akan mempercayainya.
Dasawarsa 60-an bagi GMNI merupakan tahun-tahun yang menggetirkan. Keterkaitan GMNI dengan PNI mempunyai dampak langsung terhadap keberadaannya. Masa itu secara politis PNI pecah dalam dua kubu yang saling berhadapan. Secara populer itu ditandai dengan munculnya PNI OSA-USEP dan PNI ASU. Keadaan ini tidak menguntungkan GMNI, sebab perpecahan tersebut berakibat langsung pada persatuan dan kesatuan organisasi. Untuk pertama kali, GMNI mengalami perpecahan organisasi secara Nasional. Keputusan Kongres diinjak-injak secara akonstitusional. Presidium hasil Kongres yang lebih sah memimpin organisasi disisihkan dengan dibentuknya Presidium lain atas SK. DPP PNI. Dengan fenomena yang ada, banyak orang mengatakan GMNI masa itu terjadi dua kubu yang terkait langsung dengan perpecahan di PNI. Sehingga timbul juga istilah GMNI OSA-USEP dan GMNI ASU. Dalam kondisi organisasi yang tidak menguntungkan itu situasi politik di Indonesia juga sedang keruh. Kudeta berdarah berlangsung dalam gerak cepat pada tahun 1965, yang dilanjutkan dengan gerakan pembersihan unsur “kiri”. Peta politik di Indonesia bergerak ke “kanan” meruntuhkan singgasana Presiden Soekarno dan sekaligus PNI sebagai partai besar masa itu. Celakanya keberadaan GMNI harus juga tersungkur dan tenggelam dalam gelombang pasang-surut. Sejak itu GMNI kehilangan peran dan hidup dalam kevakuman. Sekalipun pada tahun 1969 di Salatiga diadakan Kongres ke-V, namun GMNI sebagai organisasi pudar eksistensinya hingga tahun 1976.
-
MASA KEBANGKITAN KEMBALI
Dalam kondisi yang cukup memperihatinkan GMNI sebagai organisasi perjuangan mencoba bangkit kembali. Dengan bekal semangat keberanian mengambil resiko, GMNI mulai mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, sehingga pada tahun 1976 di Ragunan Jakarta diselenggarakan Kongres ke-VI. Dalam Kongres tersebut pengalaman panjang perjalanan GMNI di-evaluasi kembali.  Sadar bahwa sikap tidak independent merupakan salah satu faktor penting bagi kemunduran peran organisasi, maka melalui Kongres ditetapkan “Independensi” mutlak harus ditegakkan.
Masa kebangkitan kembali GMNI lebih ditekankan pada kegiatan konsolidasi organisasi di daerah yang potensial bendera GMNI dicoba untuk berkibar. Secara Nasional slagorde organisasi ditata sampai tingkat basis. Kesemuanya memang butuh waktu. Tetapi dengan bekal semangat membara tanpa menyimpan rasa dendam, kader-kader GMNI mulai berkiprah kembali. Sambil bergerak mengkosolidasi organisasi, GMNI membulatkan tekat independisnya melalui Kongres ke-VII yang diselenggarakan pada tahun 1979 di Medan. Independensi yang ditetapkan dalam Kongres tersebut mencakup independensi dalam arti organisatoris, politis dan sosio-kultural.
Pemahaman GMNI terhadap ideologi Pancasila sebagai produk historis dan manusiawi menuntut GMNI menggunakan secara konsisten Pancasila sebagai azas perjuangan. Untuk itulah jauh hari sebelum undang-undang keormasan ditetapkan oleh pemerintah, GMNI mengambil inisiatip untuk menjadikan Pancasila sebagai azas organisasi. Pada Kongres ke-VIII yang dilaksanakan pada tahun 1983 di Bandung sikap ini ditetapkan secara organisatoris. Dengan bekal pemahaman ini, GMNI terus mencoba bangkit dan bergerak menemukan kembali peran dan keberadaan dirinya. Kongres ke-IX diadakan di Samarinda pada tahun 1986 dengan keputusan penting menetapkan nilai-nilai dasar perjuangan dan sistem pendidikan kader. Keputusan ini menjadi pedoman dasar bagi gerak perjuangan GMNI hingga mengantarkan memasuki Kongres ke-X di Salatiga pada tahun 1989.
Demikian sepintas kilas perjalanan GMNI sebagai organisasi dan selamat mempelajarinya dari dalam!!!.


Sumber: http://soehat.wordpress.com/2011/02/27/lintasan-sejarah-gerakan-mahasiswa-nasional-indonesia/

PIDATO PRESIDEN SUKARNO NAWAKSARA

PIDATO PRESIDEN SUKARNO NAWAKSARA

PIDATO PRESIDEN SUKARNO NAWAKSARA
Di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada tanggal 22 Juni 1966

Saudara-saudara sekalian,

I. RETROSPEKSI
Dengan mengucap Syukur Alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-lV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan Ketetapan-ketetapan tersebut, maka dalam Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-ll MPRS pada tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg Parama-Arta" tentang hal ini:

1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi.
Dalam pidato saya "Ambeg Parama-Arta" itu, saya berkata: "MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi mengangkat saya juga menjadi: "PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA".

Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah "Pemimpin Besar Revolusi Indonesia", yaitu: "PEMIMPIN BESAR REPUBLIK RAKYAT INDONESIA"!

Dalam pada itu, saya sadar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekuensi yang amat besar! Oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PEMIMPIN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali!!

"Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar "Melaksanakan". "Memimpin" adalah lebih berat daripada sekedar menyuruh melaksanakan"!

Saya sadar, lebih daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi "Pemimpin Besar Revolusi", bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah S.W.T. saya terima pengangkatan sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" itu dengan rasa tanggung jawab yang setinggi-tingginya!
Saya Insya Allah, akan beri pimpinan kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Murah, dan Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya!

Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal ini pun membawa konsekuensi! Tempohari saya berkata: "Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Revolusi Besar Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu! Pertanggungan-jawab yang MPRS, sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanggungan-jawab yang berat sekali, tetapi denganridha Allah S.W.T. dan dengan bantuan seluruh Rakyat Indonesia, termasuk di dalanlnya juga Saudara-saudara para Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana!

Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat "Ambeg Parama-Arta".

Saudara-saudara sekalian,
Dari Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara berikan kepada saya.

Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi saya pun - dan dengan saya semua ketentuan-ketentuan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita - saya pun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat-mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi Nasional kita yang multi-kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Panca-Sila. Revolusi demikian ta' mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya Re-So-Pim, yaitu Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional.

2. Pengertian Mandataris MPRS.
Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutarna menyangkut garis-garis besarnya. Ini pun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-Undang Dasar '45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-Undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam Liberale democratie, dengan beradu debat dengan bertele-tele tentang garis-garis kecil, di mana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-kepentingan golongan dan mengalahkan kepentingan nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita!

Pimpinan itu pun saya dasarkan kepada jiwa Panca-Sila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol-Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah S.A.W.: "Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinan itu di hari kemudian."

Saudara-saudara sekalian,
Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi. Dan Saudarasaudara telah membenarkan amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No.IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama-Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No.l dan 11 tahun 1960.

3. Pengertian Presiden seumur hidup
Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke-ll pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden se-umur-hidup. Dan pada waktu itu pun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata: "Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan-umum, masih meninjau soal ini kembali." Dan sekarang ini pun saya masih tetap berpendapat demikian!

II. LANDASAN-KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN.
Kembali sekarang sebentar kepada Amanat "Ambeg Parama-Arta" tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan amanat saya "Berdikari" pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke-lll pada tanggal 11 April 1965, di mana dengan tegas saya tekankan tiga hal:

1. Trisakti.
Pertama :
bahwa Revolusi kita mengejar suatu Idee Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, seluruh rakyat sebulat-bulatnya.

Kedua :
bahwa Revolusi kita berjoang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuan yang bulat-menyeluruh dan hendaknya jangan sampai watak Agung Revolusi kita, diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongann-ya sendiri saja, atau hanya sebagian dari Ampera saja!

Ketiga :
bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!

Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik "Ambeg Parama-Arta", maupun "Berdikari" telaK Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan-kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untukmasa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka-waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan "Berdikari di atas Kaki Sendiri" dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita, Lembaga Tertinggi dari Revolusi kita, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya UUD-Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan-kerja serta pedoman bagi kita-semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri ya, bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat.

Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajuritprajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dahsyat sekarang ini.

2. Rencana Ekonomi Perjoangan.
Terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa "self-reliance" ini, jiwa percaya kepada kekuatan-diri-sendiri, jiwa self-help atau jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan-ketetapan MPRS No.V dan Vl tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerja sama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjoangan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu.

Garis-garis Ekonomi Perjoangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960. Di dalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 2 tahun 1966-1968, yaitu Pra-syarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun.

3. Pengertian Berdikari.
Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang" telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu pidato Takari, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka.
Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling me nguntungkan.

Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjoangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa: "Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan."

Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita.

III. HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI
Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik kita.

Dekon kita pun adalah Manipohdi bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan "political-economy"-nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi-umum, dan strategi-umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966--1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik-keamanan kita, politik-pertahanan kita, politik dalam-negeri kita, politik luar-negeri kita dan sebagainya.

IV. DETAIL KE-DPR
Detail dari tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkana dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garisgaris besarnya saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945.

V. TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN

Sekalipun demikian perlu saya peringatkan di sini, bahwa UndangUndang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi kita.

Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat dan bergerak cepat, yang mau-tidak-mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin kita ke arah Demokrasi Liberal.

VI. MERINTIS JALAN KE ARAH PEMURNIAN PELAKSANAAN UUD 1945
Dalam rangka merintis jalan ke arah kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pimpinan DPRGR memajukan:

a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD.

b. RUU Pemilihan Umum.

c. Penetapan Presiden No.3 tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No.3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-Undang supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

VII. WEWENANG MPR DAN MPRS
Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan-persamaan dan perbedaannya dengan MPR hasil pemilihan-umum nanti.

Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2).
Undang-Undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek.

VIII. KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Undang-Undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi-sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan-pandangan, kesatuan-pendapat, kesatuan-pikiran dan kesatuan-tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD).

Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. (pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, ayat 2). Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 hendaknya kita sadari sepenuhnya.

IX. PENUTUP
Demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPR-hasil-pemilihan-umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutan Revolusi Panca-Sila kita.

Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya kepadaMPRS. lzinkanlah saya sekarang mengucapkan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya.

Lebih dahulu tentang hal laporan progress ini.

Laporan progress itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Maka oleh karena itu saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu.

Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya, ada yang bernama Resopim, ada yang bernama Gesuri dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini, saya beri judul apa? Sembilan perkara, pokok, pokok, pokok, pokok, saya tuliskan di dalam Amanat ini.

Karena itu saya ingin memberi nama kepada Amanat ini, kepada pidato ini "Pidato Sembilan Pokok". Sembilan, ya sembilan apa? Kita itu biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanat-amanat, bahkan kita sering memakai perkataan Dwi, Tri, Tri Sakti, dua-duanya perkataan Sanskrit. Catur Pra Setia, catur-empat setia, kesetiaan, Panca Azimat, Panca adalah lima. Ini sembilan pokok; ini saya namakan apa?

Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan "Nawa". "Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA AKSARA", dus "NAWA iAKSARA" atau kalau mau disingkatkan "NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama "Sembilan Ucapan Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh, Presiden bersabda". Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan "Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA .

Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semua mengetahui, bahwa tatkala saya masih muda, masih amat muda sekali, bahwa saya miskin dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah saya sering ucapkan: "Saya tinggalkan this material world. Dunia jasmani sekarang ini laksana saya tinggalkan, karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin."

Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk katagori dalam pidato dan keterangan-keterangan yang sering masuk ke dalam world of the mind. Saya meninggalkan dunia yang material ini, saya masuk di dalam world of the mind. Dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan, bahwa di dalam wolrd of the mind itu, di situ saya berjumpa dengan orang-orang besar dari segala bangsa dan segala negara. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar; di dalam world of the mind itusaya berjumpa dengan ahli falsafah, ahli falsafah besar. Di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar, dan di dalam world of the mind itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar.

Saya berjumpa denganorang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya dari membaca buku-buku. Salah satu pemimpin besar daripada sesuatu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, ia mengucapkan kalimat sebagai berikut: "The cause of freedom is a deathless cause. The cause of freedom is a deathless cause. Perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati. The cause of freedom is a deathless cause.

Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada cause of freedom daripada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada cause of freedom daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi saya, karena tertarik kepada cause of freedom ini saya menyumbangkan diriku kepada deathless cause ini, deathless cause of my own people, deathless cause of all people on this. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja the cause of freedom is a deathless cause, tetapi juga the service of freedom is a deathless service. Pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan itupun tidak mengenal maut, tidak mengenal habis. Pengabdian yang sungguh-sungguh pengabdian, bukan service yang hanya lip-service, tetapi service yang betul-betul masuk di dalam jiwa, service yang betul-betul pengabdian, service yang demikian itu adalah satu deathless service.

Dan saya tertarik oeh saya punya pendapat sendiri, pendapat pemimpin besar daripada bangsa yang saya sitir itu tadi, yang berkata "the cause of freedom is deathless cause". Saya berkata "not only the cause of freedom is deathless cause, but also the service of freedom is a deatheless service".

Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang: the service of freedom is deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal mati. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh dari tempat kelahirannya, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.

Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tiga puluh lima tahun, hampir empat tahun dedicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memang service of freedom ini is a deathless service. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di tangannya
Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate myself, my all to this service of freedom, itu adalah Tuhan punya urusan.

Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God beslist; manusia bisa berkehendak ,macam-macam Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga di hadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and to this great service.

Inilah Saudara-saudara yang saya hendak katakan kepadamu;dalam saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu memimpin Saudara-saudara sekalian. Sekianlah.

TENTANG MARHAENISME

SUMBER MARHAENISME
Sumber Marhaenisme adalah Gelora Djiwa Perdjoangan Bangsa Indonesia, jaitu gelora perdjoangan jang timbul karena menderita pahit-getirnja segala kesengsaraan sebagai akibat dari pendjadjahan Bangsa Asing mentjengkram Bangsa Indonesia selama 3,5 abad.
Suatu perdjoangan sengit melawan penindasan dan penghisapan Imperialisme dan Kolonialisme, jang memperkosa kehidupan Bangsa2 jang tidak berdaja. Semangat perdjoangan  Bangsa Indonesia dari bukan sadja ingin membebaskan Indonesia dari belenggu Kolonialisme, akan tetapi djuga merupakan  suatu tantangan terhadap segala unsur buruk jang  merusak ketertiban tata-kehidupan Masjarakat Dunia.
Menggeloranja djiwa perdjoangan Bangsa Indonesia itulah jang pada taraf permulaan mendjadi sumber kelahiran segala inspirasi, segala idee, budi, spirit dan dinamik perdjoangan asli-patriotik Bangsa Indonesia.
Unsur2 kekuatan perdjuangan itu kemudian diolah, diperlengkapi dan idrumuskan, sehingga lahirlah suatu azas. Tumbuhlah teori2 perdjuangan Marhaenis jang methodis-rasionil-ilmiah dan selandjutnja tersusunlah program2 perdjuangan Marhaenis jang realistis dan pragmatis.
Sumber Marhaenisme bukanlah buah hasil tjipta Sardjana2 Asing, melainkan Gelora Djiwa Perdjoangan Bangsa Indonesia.
-
FALSAFAH MARHAENISME
Marhaenisme mengandung idee dan spirit kearah mensatu-padukan serta menggembleng semua tjita2 dan semua dinamik perdjuangan patriotik Bangsa Indonesia, hidup dari Abad ke Abad dan jang tumbuh tersebar diseluruh Nusantara.
Idee dan spirit itu djelas dan terang bersinar dari segala jang tersurat dan tersirat dalam dokumen2 bersedjarah, Faham, pandangan2, pengertian2 dan konsepsi2 pokok setjara konkrit telah tjukup banjak digariskan dan dihidangkan. Bagi kita dokumen2 sedjarah itu sudah tjukup banjak mengandung idee, budi dan pikiran2 sebagai kekajaan spirituil dan idiil jang dapat kita djadikan bahan2 renungan kearah mentjapai falsafah, teori serta program perdjuangan Marhaenisme.
Intisari falsafah jang terkandung dalam Marhaenisme dapat dirumuskan :
Marhaenisme mengakui adanja dua kekuatan hidup, ialah kekuatan idee dan kekuatan materi jang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnja karena adanja timbal-balik antara kedua kekuatan tsb.
Marhaenisme mengandung suatu kejakinan, bahwa dinamik jang tumbuh dari keseluruhan segala kekuatan lahir dan bathin, dari keseluruhan segala kekuatan materil dan spirituil, dinamik itulah jang menentukan gerak-djatuhnja Masjarakat, roboh-mengembangnja sedjarah dan bangun-tjatuhnja peradaban manusia.
Gerak-gerik hidup sesuatu manusia atau bangsa tidak hanja didorong oleh keinginan untuk mengisi perutnja dengan makanan, untuk melindungi dirinja dengan pakaian dan perumahan, atau hanja didorong oleh keinginan untuk mengisi otak dan djiwanja dengan pemikiran dan kejakinan sadja, akan tetapi didorong oleh keseluruhan segala keinginan untuk mentjapai hidup senang dan tenteram didunia ini, jaitu hidup bahagia lahir dan bathin.
Karena itu Marhaenisme adalah tuntunan kearah mentjapai keseimbangan jang harmonis antara hidup lahir dan hidup bathin, menudju kesempurnaan hidup seseorang dan hidup kemasjarakatan ialah masjarakat jang adil dan makmur dan tata-tentram.
Itulah intisari falsafah Marhaenisme. Intisari falsafah jang chas ini adalah hasil pengertian jang setepat-tepatnja tentang kekuatan2 dan daja hidup manusia, hasil penggalian jang dalam dari sumber kehidupan manusia, ialah budi-nurani-kemanusiaan, hasil pemandangan wialajah kehidupan manusia jang seluas-lueasnja, ialah masjarakat manusia dan hasil peneropongan djangka kehidupan manusia jang sedjauh-djauhnja jaitu sedjarah manusia.
Bertalian dengan intisari falsafah ini sebagai sumber dan landasan idiil, maka tumbuhlah ideologi baru dengan falsafah faham2, teori2 baru, tumbuh dibidang peri-kehidupan dan perdjuangan hidup manusia, dibidang kenegaraan, kemasjarakatan, ekonomi dan kebudajaan jang semuanja bersifat dan bertjorak chas, bersifat dan bertjorak spesifik Indonesia. Tumbuhlah Marhaenisme sebagai magmanja Pantjasila, faham Sosio-Nasionalisme Sosio-Demokrasi.
Demikianlah Marhaenisme sebagai magmanja dan kemudia Pantjasila tumbuh mendjadi pandangan hidup Bangsa Indonesia. Marhaenisme adalah suatu ideologi tersendiri dengan pengertian dan faham tersendiri pula terhadap hidup manusia, perkembangan dunia, alam moral, keagamaan, keadilan, hukum, logika, ethika, aesthetika dlsb.
Marhaenisme mengakui Ke-Tuhana Jang Maha Esa, Perikemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial sebagai fundamen2 spirituil dan materiil jang seharunja didjadikan dasar2 hidup kemasjarakatan dan kenegaraan bagi ummat manusia, chusunja bagi Bangsa Indonesia.
Tjita2 Marhaenisme dibidang kenegaraan, kemasjarakatan, ekonomi, kebudajaan adalah lain daripada jg. ditjita-tjitakan dan dikonsepsikan oleh faham Liberalisme, faham Marxisme, Komunisme, Nazi-isme, Fascisme. Marhaenisme setjara fundamentil orinsipiil berbeda sekali dar Liberalisme, Marxisme, Komunisme dan lain2nja, berbeda dalam djiwa, dasar serta tudjuan, berlainan mulai dari landasan idiil, strategi perdjoangan sampai kepada tudjuannja terachir, ialah sampai pada bentuk dan struktur masjarakat dunia jang diidam2kannja.
Sosialisme jang terkandung dalam Marhaenisme adalah berbeda dengan Sosialisme Utopis, Marxis Revisionis dan Komunis.
Faham Liberalisme politik dngan Demokrasi Liberalisme, Liberalisme Ekonomi dengan Kapitalismenja, faham Absolutisme, faham Materialisme, faham Marxisme dengan dialektis-Matrialismenja, Historis-Matrialismenja, Ekonomis- determinismenja, dengan teori2 pertentangan kelas, Akumulasi, Krisis dan teori Verdelingnja, faham Komunis-Bolsjewik dengan Demokrasi Sentralismenja, kultus-individu dan terori revolusi-dunia model Stalinnja, faham Nazi-isme denagn teori ras-nja, itu kesemuanja adalah faham kuno jang sempit, sudah lapuk pada dasarnja destruktif. Itu semua adalah faham2 jang melihat dan mengukur kehidupan manusia dan perkembangan dunia hanja dari satu dua segi kehidupan sadja. Faham2 itu hanja dapat melihat satu atau dua pohon kehidupan sadja, akan tetapi buta untuk dapat melihat seluruh hutan.
Marhaenisme adalah lain sekali dari isme kuno termaksud jang disebutkan diatas. Dalam Marhaenisme, semua getaran hidup dan irama zaman jang berkembang dari masa kemasa diolah dan disalurkan kearah perikehidupan manusia jang sewadjarnja. Untuk nenudjukkan pada masjarakat  dan djuga kepada golongan2 tertentu jang gegabah menuduh Marhaenisme adalah identik dengan Komunisme, maka dapat digambarkan didalam garis besarnja adjaran Marhaenisme dalam mendidik warganja sebagai berikut :
Seorang Marhaenisme sebagai manusia Budaja
  • Ia berfikir benar karena ia ber-ilmu. Dengan djalan mengilmu ia mentjapai Logos, tahu apa jang benar apa jang salah. dan ia memilih djalan jang benar dalam hidupnja.
  • Ia berbudi baik karena ia ber-moral. Dengan latihan achlak ia mentjapai Ethos, tahu apa jang baik apa jang buruk, dan ia memilih djalan jang baik dalam hidupnja.
  • Ia bertjita-tjita indah karena ia ber-rasa seni. Dengan rasa seninja ia tahu  apa jang indah apa jang djelek, dan ia mentjintakan keindahan dalam hidupnja.
  • Ia persembahkan segala hasil karyanja, filsafat ilmu budi, dan seni kepada masjarakat. Sebagai budajawan ia adalah pahlawan kebudajaan Nasional, jang mendjaga dan memelihara kepribadian Bangsa.
Seorang Marhaenisme sebagai Filusuf
  • Ia hidup berdasarkan naluri hidup massa Marhaen lahir dan bathin.
  • Ia mentjari kebenaran hidup dengan menerobos alam hidup lahir dan bathin, menangkap, merenungkan dan meresapkan segala kekuatan hidup lahir dan kekuatan hidup bathin jang ada padanja dan jang ada pada alam disekitarnja.
  • Ia mendapatkan kebenaran hidup dengan mengakui adanja kekuatan hidup, jaitu kekuatan idee dan kekuatan materi jang karena pengaruh timbal-baliknja tidak dapat dipisahkan satu sama lainnja.
  • Ia merindukan kesempurnaan hidup jang bersifat kebahagiaan hidup lahir-bathin dengan ichtiar mentjapai imbangan jang harmonis antara kekuatan hidup lahir dan kekuatan hidup bathin.
Seorang Marhaenisme sebagai Moralis
  • Ia mentjari kebaikan budi achlak dengan menjilami alam budi nurani manusia sedalam-dalamnja dan menggali segala tata-susila dan sopan-santun jang mendjadi norma dan hukum hidup.
  • Ia mendapatkan kebaikan budi achlak dengan mengakui kaidah2 Ke-Tuhanan dan kaidah2 kemanusiaan sebagai dasar naluri hidup.
  • Ia merindukan keluhuran budi dengan ichtiar mentjapai perpaduan jang harmonis antara kaidah2 Ke-Tuhanan dan kaidah2 kemanusiaan.
Seorang Marhaenisme sebagai Aestetikus
  • Ia mentjari keindahan tjita dengan meresapkan dan mengambil keindahan2 bentuk, sifat dan daja hidup jang ada dalam alam disekitarnja.
  • Ia mendapatkan keindahan dengan memiliki rasa seni dan daja tjipta.
  • Ia mentjiptakan dan mentjita-tjitakan kehidupan lahir bathin manusia jang indah dengan ichtiar mentjapai perpaduan jang harmonis antara keindahan pribadi dan keindahan alam ruang hidup disekitarnja.
Seorang Marhaenisme sebagai Politikus
  • Ia adalah seorang idealis, akan tetapi dalam pada itu ia tidak melupakan kenjataan2 hidup jang berwudjut konkrit sebagai landasan berpidjak dan pangkalan bertolaknja.
  • Ia adalah seorang pemikir theoritikus, akan tetapi dalam pada itu ia djuga seorang pelaksana praktikus.
  • Ia adalah seorang nasionalis, akan tetapi ia bukan seorang chauvinis. Ia tidak melupakan kebahagiaan hidup antar bangsa.
  • Ia adalah seorang demokrat, dalam arti penganut2 faham demokrasi Patjasila, bukan penganut demokrasi hukum rimba, bukan penganut demokrasi liberalis, ia merindukan demokrasi lengkap disegala bidang kehidupan, jaitu demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.
  • Ia adalah seorang sosialis, dalam arti bukan penganut totaliterisme jang memperbudak pribadi2 manusia. Ia merindukan keadilan sosial dan karena itu menentang penindasan, penghisapan dan perbudakan sesama manusia.
  • Ia adalah seorang pemimpin rakjat, jang arif-bidjaksana dana mengenal batas2 sikap lunak dan sikap keras.
  • Ia adalah seorang pedjuang, jang ulet dan revolusioner dinamis dan konsekwen dalam sepak terdjang dan pendirian terhadap tjita2 perdjuangannja.
  • Ia adalah seorang negarawan, jang tjakap dan djudjur. Ia punja rasa tanggung djawab dan sadar akan segala amanat rakjat jang mendjadi tugas kewadjibannja.
  • Ia adalah seorang propagandis, jang dapat memikat hati rakjat, dapat membangkitkan kesadaran, keinsjafan, dan dinamik untuk berdjuang didjalan jang benar.
Seorang Marhaenisme sebagai anggota masjarakat
  • Dalam hidup perekonomian ia adalah seorang karyawan jang mendapatkan nafkah penghidupannja dengan kerdja kooperatif. Ia bukan seorang individualis-materialis-egois jang haus rakus akan harta benda bagi kepentingan hidupnja sendiri. Ia adalah seorang karyawan jang berkerdja untuk kemakmuran hidup seluruh anggota masjarakat.
  • Dalam hidup keilmuan ia adalah seorang tjendekiawan jang menggunakan ilmunja untuk kemasjarakatan dan kemadjuan masjarakat.
  • Dalam hidup keguruan ia adlaah seorang guru pendidik luhur budi, jang djauh mengawang kedepan akan pertumbuhan Bangsanja, penjantun djiwa, pemupuk tunas2 manusia Indoensia baru.
  • Dalam hidup keagamaan ia adalah seorang Agamawan jang tulus dan bertaqwa kepada Tuhan Jang Maha Esa.e. Dalam hidup kesenian ia adalah seorang seniman jang mentjipta menurut tuntunan naluri kepribadian manusia.*
Seorang Marhaenisme sebagai ummat manusia
  • Ia adalah seorang humanis-idealis jang merindukan suatu persahabatan, persaudaraan dan perdamaian ummat manusia atas dasar azas2 kemanusiaan.
  • Ia adalah seorang humanis-sosialis jang memperdjuangkan keadilan sosial antar manusia, antar bangsa dan antar negara jang riil, ichlas dan djudjur atas dasar saling bantu-embantu, saling hormat-menghormati, dan atas dasar sama deradjat, sama hak dan sama kewadjiban.
  • Ia adalah seorang humanis-realis jang sadar dan insjaf akan adanja kekurangan dan kelemahan tapi djuga akan adanja daja2 kekuatan setiap pribadi manusia. Ia ingin dan siap menjapu bersih setiap ketidak-adilan, keburukan dan kedjahatan dan ia ingin menegakkan keadilan dan kebenaran jang abadi, diatas dunia ini.*
*sumbangan pikiran Prof. Dr. Sunawar Sukowati S.H., Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Essensialia Marhenisme, diperbanjak oleh jajasan nasional “Pandji Mas”, 1972