(Posotonomi dan Terancamnya Kehidupan Negara-Bangsa)
Adakah sebuah identitas yang mempersatukan beragam etnis dan suku bangsa di Negara ini sehingga menghasilkan pencapaian yang dinamai Indonesia?. Jika tidak ada sebuah simbol dan identitas yang dapat mempersatukannya lalu kenapa sekarang kita masih hidup dalam sebuah negara-bangsa yang bernama Indonesia ini?. Hal ini menjadi menarik dibicarakan di tengah pertarungan Simbol antara identitas lokal, nasional dan global. Apalagi sebagian kalangan menyebut bahwa proses mencapai ke-Indonesiaan baru dilakukan secara politik yakni ketika diproklamirkan tahun 1945. Sedangkan perumusan identitas di wilayah kultural masih diperdebatkan hingga hari ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya pergolakan dan kekerasan di berbagai daerah tanah air beberapa tahun terakhir dan menimbulkan banyak kecemasan tentang integrasi nasional. Sebagai solusi atas masalah di atas maka lahirlah otonomi daerah.
Semangat otonomi sesungguhnya adalah sebuah semangat positif di dalam sebuah masyarakat bangsa yang telah membangun sebuah bangunan demokrasi. Di mana kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan bersama dapat tercapai menjadi tujuannya. Meskipun demikian, semangat otonomi itu dapat menjadi sebuah problem atau bahkan bahaya ketika ia berkembang tidak terkendali, ketika ia melampui batas dan bergerak ke arah ekstrim. Hal ini dilukiskan oleh Yasraf Amir Piliang dengan istilah posotonomi.
Posotonomi adalah kondisi ketika otonomi digunakan sebagai alat untuk menciptakan apa yang di dalam teori psikososial yang disebut oleh Edward E. Sampson sebagai “diri sebagai kontainer” (self as container). Orang merasa hidup dalam sebuah kontainer tertutup sebagai wadah dirinya yang ekslusif dalam rangka menjaga otentisitas, identitas, kesatuan dan stabilitas di dalam kontainer tersebut. Apapun yang ada di luar kontainer (wilayah teritorial) dianggap sebagai ancaman dan bahaya. Sebaliknya apa yang ada dalam container harus dibela, diperjuangkan dan dilindungi dengan gigih, bahkan dengan mengorbankan nyawa sekalipun.
Otonomi yang berkembang dalam bentuknya yang berdasarkan (daerah, gender, ras dan etnis) sekarang menurut Piliang adalah sebuah bentuk otonomi yang kehilangan spirit simbiosis mutualisme. Yang muncul kemudian adalah adalah kesalahpahaman mutual dan intoleransi mutual. Ketika prinsip simbiosis mutualisme ini ditinggalkan dalam pelaksanaan otonomi, maka terciptalah realitas otonomi yang disatu sisi lebih menekankan pada proses geopolitik, deteritorialisasi dan dekonstruksi atas wilayah dan pengaturannya.
Kondisi demikian membuat nasionalisme Indonesia dalam bahaya. Entitas Indonesia yang hanya disusun dari konsesi politik semata akan sangat cair dan rapuh. Apalagi umur Indonesia baru 64 tahun, sebuah usia yang masih sangat muda jika kita bandingkan dengan negara-bangsa lain seperti Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. Tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia akan hilang dimakan sejarah dan bubar sebagai sebuah negara-bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa bubarnya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur mengawali runtuhnya sebuah nation-state dan munculnya negara baru yang didasari nasionalisme baru yang didasarkan pada etnisitas. Dalam bukunya Nationalism and The State yang ditulis oleh John Breuilly (1982) selalu menekankan sifat ganda dari setiap nasionalisme. Disatu pihak, ia bersifat integratif seperti halnya Jerman di bawah Bismarck atau Italia di bawah Cavour.
Di pihak lain, ia bersifat separatis seperti nasionalisme orang-orang Rumania yang hendak melepaskan diri dari kekaisaran Habsburg, atau nasionalisme Yunani dan Bulgaria yang ingin merdeka dari kekaisaran Ottoman. Sedang di Indonesia sendiri mengalami nasionalisme anti-kolonial yang integratif. Nation & character building yang dipelopori oleh Bung Karno semasa menjadi presiden dulu adalah usaha par-excelence untuk mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda. Sayang sekali usaha yang belum tuntas tersebut berhenti di jalan sebagai akibat dari kericuhan politik yang berlangsung tahun 60-an dan membuat pergantian kekuasaan. Usaha yang tidak tuntas tersebut dapat kita lihat dampaknya sekarang ketika kolonialisme fisik telah lenyap dari Indonesia. Adakah yang membuat nasionalisme kita tetap relevan?
Hal ini diperparah dengan revolusi teknologi komunikasi, transportasi dan informasi mengubah habis sistem dan pranata sosial termasuk juga nasionalisme kita. Menurut Radhar Panca Dahana dalam esainya Nasionalisme, Tunggu Dulu menyatakan setidaknya ada tiga hal yang menjadi akibat revolusi diatas. Sehingga memaksa kita memeriksa ulang seluruh perhitungan politik, ekonomi, atau budaya kita selama ini. Yang pertama adalah jarak dan waktu yang kehilangan makna sebagai pemisah. Akibat kedua pada sifat dan pola relasi antarmanusia yang tak lagi memiliki acuan primordial dan kultural sama sekali. Melalui medium teknologis hubungan yang terjalin emosional menjadi semakin pragmatis, ringan bahkan artifisial. Hal ketiga adalah keberadaan kita yang tidak lagi dibatasi oleh demarkasi politik, hukum. Kata Indonesia sebagai kedaulatan atau batasan politis, ekonomis, hukum, militer atau budaya secara de facto mencair. Sebagai warga negara misalnya tak lain hanya sebuah perhitungan praktis domisili, hitungan di mana kita berdiam di bumi yang bulat ini dan di nomor berapa kita ber-KTP. Lihat saja masyarakat Eropa di mana sebagian gejalanya telah terjadi.
Lalu bagaimana dengan masa depan nasionalisme dan negara-bangsa bernama Indonesia?. Sejarah telah menunjukkan pada kita bagaimana kehancuran sebagian negara-bangsa walaupun mereka memiliki tradisi yang solid dan kukuh. Apalagi Indonesia yang sejak semula tak lebih dari sekedar imagined community. Tidak cukup menuliskannya saja dalam tiga lembar kertas ini.